Persyaratan Ma'ruf Amin Lebih Kuat Dibanding Kecurangan Pemilu

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun dalam sebuah diskusi di kawasan Jakarta Pus
Sumber :
  • Ridho Permana

VIVA – Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, kembali buka suara soal sengketa hasil pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK). Diakuinya, memang berat perjuangan pihak 02 untuk membuktikan kecurangan yang disangkakan.

Refly mengatakan, jika hanya paradigma di MK berdasarkan kalkulasi dan kecurangan terstruktur dan masif, maka bisa dipastikan 99,9 persen gugatan itu akan ditolak MK. Tapi, permohonan itu akan hidup jika memakai paradigma lain.

"Saya katakan 99,9 persen permohonan akan ditolak, the game is over. Bahwa permohonan ini akan hidup dan ada proses lebih lanjut kalau dia pakai paradigma yang lain, kalau pakai perhitungan suara dan TSM saja selesai," kata Refly saat diskusi di Jakarta Pusat, Kamis 13 Juni 2019.

Refly menjelaskan, terkait hal ini hendaknya beralih ke paradigma lain seperti keadilan pemilu dan isu soal persyaratan. "Pakai paradigma TSM pun hampir selesai juga, kecuali bergerak pada paradigma keadilan pemilu, atau isu tentang persyaratan," katanya.

Kendati demikian, Refly menuturkan bahwa hukum tentu akan muncul di kepala hakim di MK. Sebab, dalam memutuskan sesuatu, MK tidak semata-mata didasarkan pada undang-undang semata.

"Tetapi biar bijaksana-bijaksini, memang nanti hukum itu akan muncul di kepala 9 hakim konstitusi. Karena selama ini memang hakim MK dalam konteks pilkada yang saya pahami memutuskan sesuatu tidak semata-mata didasarkan pada UU saja, kadang praktek persidangan itu juga menjadi variasi putusan," ujar Ketua Tim Anti Mafia Mahkamah Konstitusi 2014 ini.

Bila melihat praktik persidangan di MK selama ini, memang MK tidak hanya memperhatikan yang sifatnya tekstual saja. Misalnya fakta soal persyaratan, dalam konteks pilkda dan pileg, memang ada yang didiskualifikasi, karena belakangan ditemukan calon tidak memenuhi persyaratan.

Pada 2009, Bawaslu menemukan bahwa ada calon yang masih tercatat sebagai anggota BP Migas walaupun yang bersangkutan adalah pengusaha. Lalu kemudian akhirnya dicopot oleh KPU.

"Dalam konteks pilpres, memang kita belum menemukan preseden apa-apa karena semua permohonan itu ditolak sejak 2004, 2009 dan 2014. Tetapi memang sekali lagi saya katakan, setiap periode MK itu selalu punya cara pandang atau perspektif sendiri," ujarnya.

"Materi penting, tapi paradigma MK dalam memperlakukan permohonan itu yang akan berpengaruh pada putusan." (mus)