Fluktuasi Iman, Benarkah Iman Dapat Bertambah dan Berkurang?

Ilustrasi melaksanakan salat.
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Iman didefinisikan sebagai aqdun fi al-qalb, iqrarar bi al-lisan wa`amal bi al-arkan, yaitu meyakinkan dalam hati, mengakui dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Berdasarkan definisi ini, maka perbuatan dosa seperti mencuri, berzina, atau merampas milik orang lain dan minum khamr (yang memabukkan) merupakan perbuatan yang menyebabkan keluar dari rasa keimanan. 

Hakikat keimanan, asasnya, dan pokoknya, apabila telah teguh di dalam hati seseorang tidaklah bertambah maupun berkurang. Akan tetapi derajat keimanan seseorang dapat bertambah dengan bertambahnya ketaatan dan dapat berkurang dengan berkurangnya ketaatan. Karena seluruh ketaatan adalah keimanan.

Tiap-tiap sesuatu yang mungkin bertambah, niscaya ada kemungkinan pula berkurang. Yang menjadi pembahasan di sini ialah mengenai hadis yang menjelaskan tentang fluktuasi iman.

Fluktuasi adalah ketidak tetapan atau guncangan. Fluktuasi iman adalah keadaan naik turunnya kondisi iman seseorang. Karena seseorang bisa berubah. Terkadang seseorang berada di puncak imannya, yaitu mereka dalam keadaan semangat dalam melakukan suatu ibadah. Tapi juga membahas tentang suatu kondisi, di mana iman lagi masa-masa di bawah. Bahkan untuk mengerjakan suatu ibadah itu terasa sangat malas. Ada beberapa ayat Alquran Al-Karim yang jadi bukti bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang.

Ada polemik di antara ulama tentang bisa bertambah tidaknya iman seseorang. Kelompok pertama kaum Muslimin berkata bahwa iman dapat bertambah atau berkurang. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Di antara mereka ada Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari yang berkata, “Iman adalah ucapan dan tindakan, bisa bertambah dan berkurang.” (Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Ibânah, halaman 27)

Dasar bagi pendapat pertama ini adalah banyak ayat atau hadis yang menyatakan bahwa keimanan memang bisa bertambah dan berkurang, misalnya, “Supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya.” (QS. Al-Mudatsir: 31)

“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerangkamu, karena itu takutlah kepada mereka’, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS. Ali Imran: 173)

Adapun kelompok kedua kaum Muslimin, mereka berkata bahwa keimanan sama sekali tidak bisa bertambah. Mereka adalah sebagian ahli fikih dan banyak ahli kalam. Di antara mereka ada Imam Abu Hanifah yang berkata, “Iman adalah pengakuan dengan lisan dan pembenaran dalam hati. Pengakuan dengan lisan saja tak cukup menjadi iman sebab bila pengakuan saja tentu semua orang munafik (yang berpura-pura Islam padahal tidak) akan dianggap beriman. Iman tidaklah bertambah dan berkurang.” (Abu Hanifah, Matn al-Washiyyah, halaman 1).

Dasar bagi pendapat kedua ini adalah adanya banyak ayat atau hadis yang menyatakan bahwa iman hanyalah soal hati belaka, tanpa melibatkan perbuatan di dalamnya. Misalnya, “Mereka (kaum Munafik) berkata: “Kami beriman.” Padahal hati mereka tidak beriman.” (QS al-Maidah: 41). “Islam adalah apa yang tampak, sedangkan iman berada di dalam hati.” (HR. Ahmad) .

Sebenarnya hal tersebut hanyalah perbedaan redaksional semata sebab berbeda dalam mendefinisikan apa yang disebut dengan iman itu. Kelompok pertama menjadikan tindakan seorang hamba sebagai bagian dari definisi iman. Sehingga sudah maklum bahwa tindakan itu kadang bertambah di kala giat dan kadang berkurang di saat tidak giat atau melakukan maksiat. Bagi kelompok pertama ini, keimanan adalah lawan dari kemaksiatan sehingga makin sedikit maksiat berarti makin banyak kadar keimanannya dan begitu juga sebaliknya.

Sedangkan kelompok kedua tidak menjadikan tindakan seorang hamba sebagai bagian dari definisi keimanan. Akhirnya mereka tak mengakui bahwa iman bisa bertambah atau berkurang. Bagi kelompok kedua ini, keimanan adalah lawan dari kekafiran sehingga tidak ada istilahnya agak beriman atau agak kafir, makin beriman atau makin kafir.

(Alwi Husein Al Habib, Ketua Bidang Pemberdayaan Sumber Daya Manusia di Center for Democracy and Religious Studies dan Mahasiswa UIN Walisongo Jurusan Ilmu Al Quran Tafsir)

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.