Prabowo Jadi Menteri Jokowi, Ancaman Krisis Reputasi Gerindra

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan) didampingi Wakil Ketua Umum Edhy Prabowo mengangkat ibu jari seusai bertemu Presiden Joko Widodo di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (21/10/2019). Prabowo mengaku siap membantu di dalam pemer
Sumber :
  • vstory

VIVA – Presiden Jokowi baru saja membentuk Kabinet Indonesia Maju untuk membantu melaksanakan program kerja yang akan dilakukan presiden selama 5 tahun ke depan. Yang menarik dalam pembentukan kabinet kali ini adalah bergabungnya Prabowo Subianto menjadi menteri pertahanan.

Jika partai melakukan maneuver berpindah koalisi itu sudah menjadi  hal biasa dalam dunia perpolitikan dan menjadi sebuah bagian dinamika poltik. Tetapi yang menjadi hal di luar dugaan adalah Prabowo Subianto yang menjadi rival Jokowi selama 10 tahun dalam ajang Pilpres menjadi menteri pertahanan yang tugas menteri adalah membantu menjalankan program presiden.

Helmke dan Levitsky (2004) mencatat akan muncul dan menguat empat pola interaksi politik, yakni pola melengkapi, mengakomodasi, menyaingi, dan menggantikan. Setiap pola tersebut memiliki pendekatan berbeda-beda.

Tentunya apa yang telah dilakukan oleh Jokowi untuk menugaskan Prabowo menjadi menteri pertahanan adalah pendekatan melengkapi dan mengakomodasi lawan politik.

Langkah tersebut bisa dikatakan baik bagi Jokowi karena untuk mensuksekan di akhir periode keduanya. Dari perspektif legislatif pun dengan bergabungnya Gerindra dengan koalisi akan memudahkan proses program-program Jokowi diparlemen seperti anggaran dan sebagainya.

Tetapi penulis akan berfokus dengan karier reputasi dan citra Gerindra, karena Prabowo Subianto adalah representasi dari Partai Gerindra dan disaat Prabowo menjadi Menteri berdampak banyak kekecewaan di lapisan masyarakat bawah terkhusus pemilihnya.

Pada Pilpres 2019 Prabowo - Sandiaga mendapatkan 68.650.239 suara atau 44,5 persen. Artinya ada banyak suara masyarakat yang percaya dengan Prabowo dan tidak memilih Jokowi dengan berbagai alasan.

Isu yang terbentuk ketika Prabowo diangkat menjadi menteri juga tidak sedikit isu negatif, yaitu sebuah kekecewaannya atas pilihan langkah politik Prabowo.

Karena kita tahu sendiri pada masa kampanye begitu keras polarisasi yang terbentuk ketika Pilpres 2019. Bukan hal yang tidak mungkin Prabowo yang menjadi representasi dari Partai Gerindra akan mengalami turbulensi reputasi pada saat Pemilu 2024 mendatang.

Maka dari itu isu negatif kekecewaan di masyarakat di tingkat grassroot jangan pernah dibiarkan oleh Gerindra akan potensi krisis tak tertangani dengan baik.

Merujuk pada pandangan Michael Regester dan July larkin, Risk Issues and Crisis Management (2000:48), krisis tidak serta-merta ada, tetapi berjalan dari isu potensial, lalu muncul menjadi aktual yang diketahui khalayak luas, terlebih jika mendapatkan liputan media yang masif, dan krisis pun bisa memuncak. Tentunya komunikasi memiliki lamgkah sangat penting dalam mengelola isu.

Gerindra masih memiliki peluang besar untuk kembali memasuki panggung Capres, Cawapres ataupun memperebutkan posisi atas dalam Pemilu 2024. Tentunya untuk mencapai semua itu Gerindra harus pintar mengelola issue dan reputasi di masyarakat agar pertainya tetap dipercaya.

Melihat situasi isu terkini seharusnya Gerindra harus mengambil langkah-langkah komunikasi politik yang baik di masyarakat agar tetap dipercayai. seperti tetap kritis yang konstruktif di dalam tubuh koalisi di dalam periode ini.

jangan sampai isu ini terus terbentuk dan selalu teringat di benak masyarakat ataupun para pemilihnya akan kekecewaannya terhadap langkah politik Prabowo Subianto.

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.