Sejarah Rumah Adat Joglo di Jawa Tengah

Rumah Adat Jawa Tengah
Sumber :
  • vstory

VIVA – Rumah joglo ialah rumah tradisional Jawa yang umumnya dibuat dari kayu jati. Atap joglo berbentuk tajug, semacam atap piramida yang mengacu pada format gunung. Dari sinilah nama joglo itu muncul. Istilah joglo berasal dari dua kata, ‘tajug’ dan ‘loro’ yang bermakna penggabungan dua tajug.

Bentuk atap tajug ini dipilih sebab menyerupai format gunung. Sedangkan masyarakat Jawa memercayai bahwa gunung adalah simbol segala urusan yang sakral. Di antaranya karena gunung dipercaya merupakan tempat tinggal semua dewa.

Bangunan Rumah Joglo

Atap joglo ditopang oleh empat tiang utama yang dinamakan Soko Guru. Jumlah ini mewakili adanya kekuatan yang diandalkan berasal dari empat penjuru mata angin. Berdasarkan konsep spiritual ini, insan berada di tengah perpotongan ke empat arah mata angin tersebut. Suatu lokasi yang konon berisi getaran magis tingkat tinggi. Titik perpotongan ini disebut pun sebagai pancer atau manunggaling kiblat papat.

Ada tiga unsur dalam susunan lokasi tinggal joglo. Pertama ialah ruang pertemuan yang dinamakan pendapa. Kedua ialah ruang tengah yang dinamakan pringgitan dan ketiga ialah ruang belakang (dalem) yang bermanfaat sebagai ruang keluarga.

Pendapa Rumah Joglo

Pendapa ini terletak di depan. Dibuatnya tanpa dinding, karena sehubungan dengan karakter orang Jawa yang ramah dan terbuka. Ruangan menerima tamu ini seringkali tidak diberi meja ataupun kursi. Melulu tikar yang digelar supaya antara tamu dan tuan lokasi tinggal dapat berkata dalam kesetaraan.

Pringgitan Rumah Joglo

Bagian pringgitan ialah tempat di mana empunya rumah menyimbolkan diri sebagai bayangan Dewi Sri. Dewi Padi ini dirasakan sebagai sumber segala kehidupan, kesuburan dan kebahagiaan. Terletak antara pendapa dan dalem, pringgitan dipakai sebagai lokasi untuk melangsungkan pertunjukan wayang yang sehubungan dengan upacara ruwatan adat.

Dalem atau Ruang Utama Rumah Joglo

Dalem ialah bagian yang dipakai sebagai lokasi tinggal keluarga. Di dalamnya ada sejumlah kamar yang dinamakan senthong. Zaman dulu, senthong hanya diciptakan sebanyak tiga bilik saja. Kamar ke satu diperuntukkan untuk semua lelaki, kamar kedua dikosongkan dan kamar ketiga digunakan oleh semua perempuan.

Kamar kedua yang kosong ini tetap dipenuhi dengan lokasi tidur menyeluruh dengan segala perlengkapannya. Disebut krobongan, ruangan kosong ini digunakan untuk menyimpan pusaka dan sebagai ruang pemujaan terhadap Dewi Sri. Inilah bagian lokasi tinggal yang dirasakan sangat suci.

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.