Bunga Perbankan Tak Bisa Rendah

VIVAnews - Suku bunga perbankan Indonesia tidak akan menawarkan suku bunga yang rendah. Sebab, bank dengan suku bunga rendah di Indonesia akan kolaps karena kompetisi dengan bank lain.

Penyebab suku bunga tetap tinggi karena adanya perbedaan struktur dana dalam bank. Struktur biaya bank, menurut Direktur Riset InfoBank Eko B Supriyanto, dana murah mempunyai porsi 52 persen dan sisanya, 48 persen merupakan dana mahal.

Bank menjadi tidak efisien karena adanya kesenjangan likuiditas antara dana jangka pendek yang dipakai untuk kredit jangka panjang. "Di sisi lain, para pengusaha perbankan Indonesia menginginkan laba tinggi," kata dia di Jakarta, Kamis 28 Mei 2009.

Penyebab bunga kredit yang sulit turun lainnya adalah struktur perbankan nasional yang banyak berasal dari asing. Investor asing yang masuk menginginkan jangka waktu kembali modal cepat, antara tiga hingga lima tahun. "Sehingga meninggikan suku bunga," katanya.

Eko mengilustrasikan, Bank Rakyat Indonesia dengan Nett Interest Margin sekitar 9 persen, dan Bank Central Asia dengan NIM 6 persen memiliki tingkat keuntungan yang hampir sama. "Perbankan Indonesia tidak bisa memiliki NIM sebesar dua 2 persen seperti perbankan di dunia," kata Eko.

Di tengah maraknya angka kredit bermasalah (NPL), perbankan akan menghindari kredit dengan NPL tinggi yakni mengalihkan ke kredit dengan NPL rendah. "Bank akan melirik dan menyalurkan dana ke usaha kecil menengah," katanya.

Dia memperkirakan, tahun ini suku bunga cenderung turun seiring turunnya NIM. Tetapi kecenderungan kenaikan lainnya terjadi pada Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BO/PO) dan Return on Asset (ROA). "Sehingga akan cenderung mempengaruhi penurunan laba perbankan tahun ini," katanya.

Ekonom InterCAFE Iman Sugema menyatakan, pendapatan bank yang paling baik adalah kinerja Bank dengan NIM terbesar. Bank-bank besar seperti BRI, BCA, dan Bank Pembangunan Daerah memiliki NIM yang cukup besar. 

BPD, menurut Iman, memiliki NIM yang lebih besar dibandingkan bank nasional. "Secara kelompok jauh lebih baik dibanding bank persero, bank asing, dan bank perkreditan, karena sumber dana murah seperti giro relatif besar," katanya. Karena itu, banyak Pemerintah daerah lebih banyak masuk bermain di Sertifikat Bank Indonesia yang menguntungkan.

Iman menjelaskan, keputusan Bank Indonesia untuk melakukan pengetatan moneter mengakibatkan suku bunga naik dengan cepat. Tetapi saat melakukan pelonggaran, suku bunga tidak dapat mengikuti.

"Menaikkan suku bunga tiba-tiba itu sangat fatal karena merugikan nasabah perbankan dari sisi bunga kredit dan harga komoditas yang sedang jatuh waktu itu," katanya. Iman menyatakan Bank Sentral negara maju yang akan menaikkan suku bunga diumumkan jauh hari sebelumnya.


Lebih lanjut Iman mengatakan perbankan Indonesia dikuasai enam bank besar (Oligopoli). Enam bank tersebut yaitu Bank Mandiri, BRI, BCA, BNI, Danamon dan CIMB Niaga. Enam bank ini, menurutnya dapat menentukan arah perbankan seperti rate lending dan suku bunga.

"Market share enam bank diatas 60 persen menentukan arah industri bank dan mengatur irama persaingan," katanya.

Tiga bank superbesar diatas, menurut Iman, merupakan bank BUMN. Tetapi, masalahnya pemerintah (Menneg BUMN) menuntut laba tinggi. Hal inilah yang mendorong manajemen mengedepankan laba. "Kalau kinerja dilihat dari laba/deviden akan sama dengan bank swasta," Iman menuturkan.

PKS Hormati Putusan MK: Selamat Bertugas Prabowo-Gibran
Beli Sepatu Bola Rp 10 Juta, Kena Pajak Rp 31 Juta

Viral Beli Sepatu Bola Rp10 Juta, Kena Pajak Rp31 Juta, Ini Kata Bea Cukai

Bea Cukai mengatakan bahwa pengenaan pajak Rp 31,8 juta tersebut merupakan sanksi ketidaksesuaian Cost, Insurance and Freight (CIF) atau total nilai harga barang ditambah

img_title
VIVA.co.id
23 April 2024