Ketua Komisioner KIP Gede Narayana

Informasi Itu Kebutuhan, Hak Dasar Manusia

Ketua Komisi Informasi Pusat Gede Narayana Sunarkha
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA – Tumbangnya Orde Baru membuka peluang besar. Salah satu tuntutan reformasi, yang menyertai tumbangnya era Soeharto dan keluarga, adalah transparansi informasi. Gede Narayana Sunarkha, Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP), menceritakan banyak hal terkait soal keterbukaan informasi. Tentang masyarakat yang sepertinya masih tak paham hak mereka soal keterbukaan informasi, lalu ada lagi masyarakat yang setelah kasusnya diputus malah seperti tak peduli dan tak menanyakan, apakah putusan yang sudah mereka terima akan segera dieksekusi.

10 Parpol di Jakarta Disengketakan ke Komisi Informasi Buntut Laporan Keuangan

Gede memaklumi publik yang menurutnya masih gagap dengan keterbukaan informasi. Sebab, sekian puluh tahun publik negeri ini menjalani proses dengan informasi yang tertutup, dan ketika dibuka keran untuk membuka dan mendapatkan hak mereka untuk memperoleh informasi, ternyata bukan hanya lembaga publik yang kaget dan tak siap, namun publik juga merasakan kegugupan yang sama. Itu sebabnya pengesahan UU mengenai Keterbukaan Informasi memerlukan waktu sekitar 10 tahun. Tapi sebagai sebuah alas untuk terbentuknya tata kelola pemerintahan yang baik, maka keterbukaan informasi menurut Gde hanya tinggal menunggu waktu. Jika publik sudah siap, maka Komisi Informasi Pusat, lembaga yang ia pimpin akan segera sejajar di mata publik dengan KPK, Bawaslu, KPU, dan lembaga publik lain yang sudah lebih dulu berkibar.

Gede Narayana mengawali karirnya sebagai aktivis demokrasi. Sebelum menjabat Ketua KIP DKI Jakarta peride 2016-2020, putra kelahiran Bali ini tercatat sebagai Komisioner Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jakarta Pusat. Gede Narayana lolos sebagai Komisioner KIP dari unsur masyarakat. Ia disahkan oleh DPR RI pada 26 September 2017 bersama enam komisioner lainnya, yaitu Hendra Alias Hendra J Kede (unsur masyarakat), Arif Adi Kuswardono (unsur masyarakat), Cecep Suryadi (unsur masyarakat), Wafa Patria Umma (unsur masyarakat), Romanus Ndau (unsur masyarakat), dan Tulus Subardjono (unsur pemerintah).

Komisi Informasi Pusat Tunjuk Mahfud MD Jadi Duta Keterbukaan Informasi

Kepada VIVA yang mengajaknya berbincang, Gede menceritakan berbagai hambatan, kemajuan, dan hal yang ia rasakan selama menjalankan tugas memimpin KIP. Di sebuah kafe di wilayah Cikini, Jakarta Pusat, Gede bercerita, dan menjawab pertanyaan VIVA soal keterbukaan informasi publik. Berikut petikannya:

UU Nomor 14 tahun 2008 tentang KIP itu kan sudah lama diundangkan, sebagai Komisioner KIP bagaimana Anda melihat implementasi undang-undang tersebut sejauh ini?

KPU Raih Peringkat Pertama Anugerah Keterbukaan Informasi Publik 2022

Kalau kita lihat dari sisi sejarah berdirinya lembaga KIP ini, saya mengadopsi istilah pakar hukum tata negara, yaitu konstitusi. Konstitusi adalah resultante dari pemenangnya itu sendiri. Konstitusi yang dimaksud sekarang adalah konstitusi pada saat reformasi. Reformasi lah yang menghasilkan konstitusi hari ini. Apa yang didengungkan oleh reformasi ketika itu, ini akan menjawab pertanyaan Anda itu. Reformasi itu adalah apa yang menjadi tagline atau menjadi tuntutan atas keterbukaan informasi. Tuntutan reformasi itu kan ada beberapa ya, tentang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), tentang good governance, dan sebagainya. Tahun 1998-1999 reformasi, baru tahun 2008 disahkannya undang-undang KIP ini. Sebenarnya, dari situ saja sudah menimbulkan pertanyaan besar. Ada jarak yang sangat jauh, padahal tuntutan reformasi itu lahir ada di dalam undang-undang KIP. Dari dulu kan kita selalu bilang tentang pemberantasan KKN, bagaimana menciptakan good governance, dan sebagainya. Tapi kenapa undang-undang keterbukaan informasi publik itu baru diketuk tahun 2008?

Kenapa pengesahan UU itu begitu lama?

Nah, jadi memang ada satu masa di masa lalu, di mana frame itu tertutup. Tapi ketika ada reformasi semua menjadi terbuka. Nah, loncatan yang jauh itu lah yang menjadikan masyarakat ‘shock culture.' Kaget budaya begitu. Kenapa demikian? Karena kalau kita bicara good governance itu kan adanya di badan publik, atau di pusat-pusat pemerintahan. Dulu kan tertutup sekali itu semua. Kalau masyarakat meminta sesuatu (informasi) pada Masa Orba, ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama kita dihilangkan, atau kedua, pertanyaan masyarakat akan dijawab dengan jawaban “itu rahasia negara.” Itu situasi di masa Orde Baru kan. Ibaratnya, masa mau nanya berapa harga kopi aja jawabannya itu rahasia negara sih.

Jadi sebenarnya alam saat ini sebenarnya sudah sangat mendukung terjadinya good governance, alam saat ini telah membawa yang namanya keterbukaan informasi, transparansi, akuntabilitas. Dan di era sekarang itu menjadi suatu keharusan. Ini kalau kita bicara konteks ideologi. Sekarang kita lihat, bahwa didalam konteks ideologi besar di dunia ini, setelah the wind of change (judul lagu Scorpion), tembok Berlin runtuh, menghasilkan dua mazhab. Negara yang menganut mazhab demokrasi, dan negara yang menganut tidak ada demokrasi tapi ekonominya meningkat. Contoh negara yang mengambil mazhab demokrasi ya kita, juga Amerika. Sementara mazhab ekonomi yang penting kesejahteraan rakyatnya meningkat itu tidak peduli apakah mau tertutup, mau terbuka, masa bodoh, itu seperti yang dilakukan China dan kawan-kawan. Nah, dua mazhab itu yang selalu berbenturan.

Jadi apa yang diharapkan publik dalam hal transparansi informasi?

Pada saat undang-undang ini dilahirkan, undang-undang ini kan memiliki filosofi. Filosofinya apa? Bahwa informasi adalah suatu kebutuhan, suatu hak asasi manusia. Itu landasan pertamanya. Landasan kedua adalah, negara kita menganut mazhab demokrasi. Di dalam mengambil mazhab demokrasi, maka informasi menjadi suatu keharusan. Harus transparan.

Alasan ketiganya itu tadi, tuntutan reformasi, menciptakan good governance. Good governance kan tata kelola penyelenggara negara yang baik, ini yang ketiga. Yang keempat, terciptanya masyarakat yang transparan. Dari empat alasan itu, itulah lahir Undang-undang tentang Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 tahun 2008. Kalau kita lihat lebih jauh, dari keempat landasan filosifis itu, kemudian kita masuk ke batang tubuh atau pasal-pasal dan ayat-ayat. Dan memang kalau kita bicara hak asasi manusia, transparansi, good governance, itu semua bukan barang yang mudah, itu barang yang susah.

Kenapa demikian?

Karena seperti yang tadi saya sampaikan, kita terbiasa tertutup kemudian langsung masuk ke masa keterbukaan seperti sekarang. Misalnya kalau saya dulu terbiasa bagun pagi kemudian langsung disuguhkan kopi dan roti, dan itu dibayar dengan menggunakan uang negara, dan masyarakat tidak tahu. Ini "bahasa-bahasa lapangan" ya. Nah, sekarang itu harus diketahui masyarakat. Malu dong saya menikmati kopi dan roti di pagi hari menggunakan uang negara. Nah, seperti ini tidak siap saya, yang harusnya terbuka, saya tutupi itu. Nah di situ lah,  muncul tarik-menarik hingga sekian lamanya. Masa reformasi tahun 98-99, tapi Undang-undang itu baru jadi tahun 2008.

Apa dampak UU yang terlalu lama itu bagi Komisi Informasi?

Jelas kelembagaan Komisi Informasi mengalami dampak, seperti ada dan tiada lah istilahnya.Pada tahun pertama, senior-senior kami telah berusaha membuktikan di era pertama itu lembaga ini berjalan dengan baik. Kemudian masuk ke fase kedua, kita mengalami fase stagnasi. Periodeisasi kita empat tahun kan, apalah arti empat tahun untuk perjalanan sebuah lembaga. Di sisi lain, kita harus lakukan good governance, masyarakat informasi ini adalah barang baru bagi masyarakat Indonesia. Berbeda dengan (lembaga) Pemilu, berbeda dengan lembaga (anti) korupsi. Korupsi tidak disosialisasikan, ada atau tidak ada orang yang di OTT, KPK pasti ngetop dengan sendirinya. Pasti menjadi sorotan masyarakat, sorotan media. Bedanya di sini KIP dengan meeka. Nah, jadi harus ada suatu pergerakan yang progresif dari kelembagaan komisi informasi di republik ini untuk menunjukan eksistensinya.

Ketua Komisi Informasi Pusat Gede Narayana Sunarkha

Bagaimana dengan kondisi internal lembaga?

Saat ini tidak ada kendala, tapi ke depan program itu kan harus juga menguatkan. Kalau ada kendala di internal, ini tentu menghambat. Artinya gini, tidak ada kendala aja kita susah, apalagi kalau ada kendala, kan gitu. Itu faktanya, dan publik pun tahu itu. Oke lah kita lupakan masa lalu, kita fikirkan bagaimana kedepannya lembaga ini. Artinya perkembangan komisi informasi dari tahun 2010 yaa, undang-undangnya kan tahun 2008, tapi dibentuknya KI Pusat itu kan 2009, setelah itu baru berjalan, terus berjenjang. Berarti sekarang itu kurang lebih 9 tahun. Nah saya  balik bertanya, kalau anak usia 10 tahun kelas berapa dia di sekolah? Kelas 5. Anak kelas 5 itu kira-kira bisa tidak dia belajar bahasa Inggris, belajar rumus-rumus fisika, dsb? Tidak. Artinya, apa yang bisa dilakukan anak usia 10 tahun sih? Itu dalil alam lho. Oke lah itu kita kesampingkan, dengan dalil kebutuhan informasi. Keterbukaan Informasi ini kan seperti yang tadi saya katakan, ini kan barang baru. Sebelumnya kan masa tertutup.

Jadi publik juga masih belum siap dengan keterbukaan informasi?

Iya. Orang juga masih gagap dengan keterbukaan informasi itu sendiri. Makanya saya katakan masyarakat kita saat ini mengalami shock culture dengan masa keterbukaan informasi saat ini. Jadi saya selaku Ketua Komisi Informasi Pusat, suka atau tidak suka harus mengakui bahwa ada hambatan pada sisi itu, sehingga perkembangan lapangan ke publik memang terjadi stagnasi. Oleh karena itu pada era sekarang ini, pada fase kami, akan mendongkrak itu semua. Kami akan melakukan berbagai upaya, untuk berkiprah,untuk hadir di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Gedung KPU (Komisi Pemilihan Umum)

KIP Perintahkan KPU Beberkan Data Rincian Infrastruktur Teknologi Pemilu 2024

Komisi Informasi Pusat (KIP) memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membeberkan informasi atau data rincian infrastruktur IT terkait Pemilu 2024.

img_title
VIVA.co.id
3 April 2024