Pulihkan Ekonomi Paska Covid-19, Pemerintah Harus Perkuat Perikanan

VIVA – Wakil Ketua DPR-RI Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan atau Korinbang, Rachmat Gobel meminta pemerintah lebih memperkuat grand design pengembangan sektor perikanan dan hasil laut, agar potensi yang ada bisa digarap secara optimal untuk meningkatkan ekonomi rakyat dan sekaligus memperkuat ketahanan pangan.

Deretan Negara Penghasil Ikan Laut Terbesar di Dunia, Posisi Indonesia Membanggakan!

Langkah ini menjadi sangat penting, karena sektor ini mempunyai potensi kontribusi yang besar untuk mempercepat pemulihan ekonomi pascawabah Covid-19.

“Potensi sektor perikanan kita sangat besar. Menurut data bisa mencapai lebih 60 juta ton per tahun, baik dari penangkapan maupun budi daya.  Namun, selama ini belum tergarap secara optimal, sehingga industri perikanan terpaksa impor untuk memenuhi bahan bakunya. Karena itu, kita perlu perbaiki grand design kebijakan pengembangan sektor perikanan, agar dapat berkontribusi signifikan dalam upaya mempercepat pemulihan ekonomi pascapandemi virus Corona ini,” kata Rachmat Gobel, seperti dikutip dari keterangannya, Minggu 17 Mei 2020.

Dukung Target Produksi KKP, Produsen Seafood Aruna Siap Perluas Pasar hingga Varian Produk

Sebagai salah salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, Indonesia mempunyai potensi perikanan sampai 67 ton per tahun, baik yang berasal dari ikan tangkap maupun ikan budi daya. Potensi produksi lestari Maximum Sustainable Yield (MSY) mencapai 10 juta ton per tahun, di mana potensi tangkap laut sekitar sembilan juta ton dan perikanan tangkap di perairan darat (danau, sungai, waduk, dan rawa) sekitar satu juta ton per tahun. Sisanya, sekitar 57 juta ton per tahun adalah potensi perikanan budidaya, baik budidaya laut  (marineculture), budidaya perairan payau (tambak), maupun budidaya perairan tawar (darat).

“Dengan potensi tersebut, sektor perikanan harus bisa menjadi salah satu tumpuan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, baik melalui proses peningkatan nilai tambah hasil produksi nelayan maupun lewat penyerapan lapangan kerja,” katanya.

Ekspor Perdana, Produk Perikanan Asal Sulawesi Tenggara Tembus Pasar Filipina dan Amerika

Namun, lanjut Rachmat, dari pengamatan dan data yang ada, sektor ini masih menghadapi banyak masalah, sehingga potensi ekonominya tidak bisa dimaksimalkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Salah satunya adalah ketidakmampuan melakukan kegiatan perikanan yang lestari. 

“Kondisi dan peraturan saat ini, belum mendorong sepenuhnya pelaku di sektor ini untuk taat azas dalam menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, dengan memperhatikan zonasi tata ruang. Dampaknya, terjadi pencemaran lingkungan di kawasan lindung dan melanggar batasan zona penangkapan ikan,” katanya.

Hal itu terjadi, antara lain karena zonasi pelaku perikanan dan nelayan masih terkonsentrasi di satu titik, khususnya Jawa. Karena itu, harus ada kebijakan migrasi bagi pelaku sektor perikanan dari zona jenuh ke wilayah yang lebih luas dan besar potensi tangkapnya.

“Tidak mudah, namun harus dilakukan dengan kebijakan yang taktis dan strategis. Artinya, migrasi dilakukan dengan mengeliminir potensi konflik etnis dan kelompok,” ujar Rachmat.

Sebagai gambaran, Rachmat mengusulkan, misalnya memindahkan nelayan dan pelaku industri perikanan di Jawa, ke daerah tangkap yang luas dengan potensi ikan yang besar di wilayah Sulawesi. Mendorong mereka ke kawasan perairan Majene, Tual, dan Gorontalo, atau ke wilayah Sulawesi lainnya. Butuh kesabaran aparat, SDM pendamping, serta pembangunan industri ikutan dan teknologi di wilayah tersebut. 

“Polanya bisa dilakukan dengan langkah pembagian tugas yang tegas, agar nelayan atau pelaku ekonomi maritim tidak kembali lagi ke zona jenuh, karena miskinnya fasilitas pendukung,” katanya.

Fungsi Penyangga

Rachmat juga menekankan, salah satu kendala pengembangan sektor perikanan adalah lemahnya keberadaan fungsi penyangga baik di sisi produksi maupun pemasaran. “Saya melihat, dengan bekerja sama dengan berbagai stakeholder, pemerintah mempunyai peluang besar untuk memperkuat fungsi penyangga ini. Jadi pemerintah tidak perlu khawatir untuk memperkuat fungsi ini,” kata dia.

Intinya, dari sisi hulu pemerintah bisa menyediakan sarana produksi, seperti alat tangkap ramah lingkungan, BBM, dan mesin kapal dengan jumlah yang memadai, serta sesuai karakteristik wilayah. Semua itu, harus disediakan dengan pendanaan dari lembaga terkait dengan harga jual yang terjangkau. 

Di sisi hilir, fungsi penyangga ini harus menjamin pemasaran bagi hasil tangkap nelayan untuk bisa mengembalikan modal dan biaya hidup layak. Fungsi penyangga ini sangat penting, agar harga ikan tidak terlalu fluktuatif, yakni di saat paceklik produksi tangkap harga melambung dan saat panen harga hancur. 

“Selama ketersediaan sarana produksi tidak terjamin dan harga ikan sangat fluktuatif, maka nelayan tidak akan pernah keluar dari kemiskinan. Potensi kemaritiman di seluruh wilayah Indonesia tidak akan tergarap secara merata,” katanya. 

Rachmat juga menekankan, grand design kebijakan perikanan harus jauh dari sifat top down atau penyeragaman. Sudah saat ini, kebijakan sektor ini berbasis prinsip  negara kepulauan, sehingga  kebijakan dibangun sesuai karakteristik daerah. Sifat kepulauan adalah endemik, khas, dan pulau yang satu tidak sama dengan pulau yang lain. Karakteristik biofisik, ekologi, sosial budaya masyarakatnya berbeda, sehingga manajemen yang ditetapkan tidak bisa top down. 

Misalnya untuk wilayah Maluku, sebagian besar jenis ikannya adalah ikan demersal (ikan yang hidup dan makan di dasar laut). Dengan adanya larangan penggunaan pukat yang bersifat nasional, nelayan terpaksa menggunakan purse seine untuk menangkapnya dan itu tidak sesuai dan tidak ramah lingkungan. 

“Jika pengelolaan sumber daya perikanan tangkap diaplikasikan secara otonomi daerah atau desentralisasi, maka perlu ada regional management melalui badan pengelola wilayah untuk mendukungnya,” ujar Rachmat.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya