Alasan Maskapai Tak Jual Tarif Promo Usai Libur Natal dan Tahun Baru

Industri Penerbangan.
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVA – Mahalnya tiket pesawat direspons masyarakat dengan membuat petisi turunkan harga tiket pesawat. Hal itu, akhirnya direspons oleh Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia atau INACA yang berkomitmen menurunkan harga tiket pesawat.

Bos InJourney Airports 'Curhat' Kendala di Industri Aviasi

Pengamat bisnis penerbangan, Arista Atmadjati mengungkapkan, protes masyarakat itu muncul, lantaran masa libur Natal dan Tahun Baru telah selesai, namun harga tiket pesawat masih mahal. Menurutnya, alasan maskapai masih memasang harga tinggi saat low season, agar keuangan mereka membaik.

"Karena, dua tahun belakangan ini semua maskapai rapor keuangannya merah. Maunya recovery, supaya keadaan dua tiga tahun belakangan ini membaik," kata Arista, saat dihubungi VIVA, Selasa 15 Januari 2019.

Kemnaker Apresiasi Kerja Sama Industri Penerbangan Indonesia-Tiongkok

Arista menyebutkan, setidaknya ada sembilan macam harga dalam penerapan sistem harga maskapai sub kelas ekonomi. Mulai dari ekonomi promo sampai ekonomi normal. Sistem ini dipakai pada penerbangan seluruh dunia.

"Kemarin itu kan, saat liburan Natal Tahun Baru itu tiga kelas paling bawah (murah) itu dikunci. Sehingga, dijual kelas moderat dan normal. Ekonomi normal itu memang paling mahal," kata dia.

Menhub Optimistis Industri Penerbangan Segera Bangkit

Sebetulnya, lanjut dia, kata 'penurunan tarif' tidak tepat, melainkan menjual kembali tarif kelas paling bawah atau promo. Namun, di sisi lain, ia mengungkapkan tak sedikit maskapai yang bangkrut, karena perang harga saat low season, mulai dari Mandala Air, Merpati, Batavia hingga Adam Air.
 
Harga tiket yang terlalu rendah pun, menurutnya, akan membuat maskapai tidak mampu menutup biaya perusahaan. Karena, 70 persen biaya maskapai menggunakan dolar AS.

Apalagi, sambung dia, biaya navigasi, parking fee, hingga landing fee pesawat naik setiap tahun yang membuat maskapai merugi.

"Makanya, maskapai menaikkan level subclasses, sehingga di lapangan diterjemahkan dengan kenaikan harga. Sebetulnya payung hukumnya enggak masalah, cuma jangan tinggi-tinggi lah," kata dia. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya