Neraca Dagang Jeblok, Kebijakan Pemerintah Tahan Impor Tak Efektif

Suasana ekspor impor di pelabuhan.
Sumber :
  • VIVAnews/Tri Saputro

VIVA – Institute for Development of Economics and Finance atau Indef mengungkapkan, kebijakan dan komitmen pemerintah untuk menekan laju impor 2018, menjadi pemicu utama yang menyebabkan defisit neraca perdagangan terbesar sepanjang sejarah.

Jokowi Resmikan 147 Bangunan yang Direhabilitasi Pasca Gempa di Sulawesi Barat

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), defisit perdagangan pada periode itu mencapai US$8,57 miliar, lebih tinggi ketimbang defisit pada 2013, sebesar US$4,07 miliar. Defisit neraca perdagangan Indonesia terakhir yang mampu di catat BPS adalah pada 1975, sebesar US$391 juta.

Ekonom Indef, Bhima Yudhistira menjelaskan, besarnya impor di semua kelompok sepanjang 2018, berkontribusi terhadap pelebaran defisit perdagangan. Total impor naik 20,15 persen, sedangkan impor bahan baku naik 20,06 persen dipengaruhi oleh lonjakan impor untuk keperluan proyek infrastruktur pemerintah.

Jokowi: Jalan Inpres Gorontalo Penting untuk Tingkatkan Konektivitas Daerah

Bahkan pada Desember 2018, kata dia, di mana biasanya permintaan bahan baku industri tidak optimal akibat terpotong libur panjang, justru impor besi baja masih mencatat pertumbuhan 4,96 persen. 

Sementara itu, impor barang konsumsi pada periode itu juga naik tinggi 22 persen. Padahal, menurutnya, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh di kisaran lima persen.

Empat Alasan Utama Publik Puas dengan Kinerja Jokowi, Menurut Survei Indikator

"Besi baja pastinya untuk proyek infrastruktur. Artinya, komitmen pemerintah untuk menunda proyek yang berkontribusi besar terhadap impor belum serius. (Sementara untuk barang konsumsi) ini bisa dicek, apakah ada kontribusi dari maraknya e-commerce, karena 93 persen produk e-commerce adalah barang impor," kata Bhima seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Rabu 16 Januari 2019.

Sementara itu, dari sisi impor migas, dijelaskannya juga mencatat rekor sejarah, yakni sebesar US$29,8 miliar, loncat US$5,5 miliar. Ketergantungan BBM impor, menurutnya, semakin besar dikala produksi dalam negeri turun dan harga minyak mentah rata-rata senilai US$70 per barel untuk jenis brent. Kurs rupiah juga berkontribusi atas bengkaknya impor migas dari sisi nilai. 

"Solusinya dorong peningkatan lifting minyak di Indonesia dengan menciptakan investasi migas yang berkualitas, khususnya di bidang eksplorasi. Menekan impor migas, juga bisa melalui percepatan B20. Saat ini, masih ada kendala dalam pasokan bahan baku FAME dan kesiapan user Non-PSO dalam serap B20," ungkap Bhima.

"Pemerintah juga diminta, segera menunda proyek infrastruktur yang berkontribusi pada tingginya impor bahan baku dan barang modal. Terakhir, dari sisi ekspor kuncinya adalah hilirisasi industri," tambahnya.

Meski begitu, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengungkapkan, untuk menekan defisit migas sendiri bukanlah hal yang mudah. Lantaran itu, merupakan kebutuhan masyarakat. Sementara itu, surplus perdagangan non-migas yang selama ini terjadi, dikatakannya tidak mampu mengimbangi defisit migas.

"Tahun lalu, surplus non-migas masih melebihi defisit migas. Sehingga, tahun lalu total neraca perdagangannya masih plus. Kalau yang tahun ini surplus non migas, sudah tidak bisa mengimbangi. Itu berarti secara kebijakan, ya kalau migas itu tidak terlalu mudah, walaupun kita berharap ada pengaruhnya dari B20," ungkap dia saat ditemui di kantornya, Selasa 15 Januari 2019. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya