Tarif Ojek Online Naik Bisa Picu Konsumen Balik ke Kendaraan Pribadi

Survei Persepsi Konsumen Ojol.
Sumber :
  • Arrijal Rachman/VIVA.co.id.

VIVA – Wacana kenaikan tarif ojek online atau ojol yang mencuat di tengah-tengah masyarakat, diperkirakan memberikan dampak negatif bagi konsumen maupun mitra pengemudi ojol itu sendiri. Kenaikan tarif itu akan dilakukan, merespons akan ditetapkannya regulasi terkait ojek online oleh Kementerian Perhubungan,

Sopir Taksi Online yang Todong Penumpang Wanita dan Minta Rp 100 Juta Ditangkap saat Tidur Pulas

Ketua Tim Peneliti Research Institute of Socio-economic Development (Rised), Rumayya Batubara menjelaskan, isu itu bisa mengakibatkan semakin buruknya kemacetan, hingga hilangnya potensi pendapatan ojol.

Perkiraan tersebut diperkuat oleh survei yang dilakukan Rised terhadap 2.001 konsumen ojol yang tersebar di 17 provinsi dan kabupaten kota di seluruh Indonesia. Survei tersebut pun dilakukan selama dua minggu di Januari 2019, dengan margin of error sebesar satu persen.

Viral Curhat Penumpang Dipaksa Transfer Uang Rp100 Juta oleh Driver Taksi Online

Dia menjelaskan, berdasarkan hasil survei itu, sebanyak 45.83 persen konsumen ojol yang didominasi oleh masyarakat pendapatan rendah mengatakan bahwa tarif ojol saat ini yang di kisaran Rp2.200 telah sesuai dengan kondisi keuangannya. Sementara itu, 27,99 persen masih menganggap kemahalan, sedangkan 26,19 persennya mengatakan kemurahan.

"Jadi, kenaikan tarif itu kita lihat 74 persen konsumen tidak happy dengan kondisi tarif itu. 22 persen mengatakan, tidak mau atau tidak menghendaki adanya tambahan biaya sama sekali, sedangkan 48 persen bersedia, tetapi kurang dari Rp5.000 per hari," ujarnya di Jakarta, Senin 11 Februari 2019.

GoTo Rugi Rp 90 Triliun pada 2023, Manajemen Ungkap Penyebabnya

Survei tersebut pun mengungkapkan, jarak tempuh rata-rata konsumen ojol 8,8 kilometer per hari. Maka, ketika ada wacana tarif naik Rp3.100 dari Rp2.200 bahwa kenaikan itu setelah dihitung menghasilkan Rp7.920 kenaikan tambahan pengeluaran konsumen. "Jadi, tujuh dari 10 konsumen akan menolak ada kenaikan tarif," tegasnya.

Bahkan, kata dia, berdasarkan responen yang disurvei tersebut, sebanyak 41 persen konsumen menggunakan ojol untuk perjalanan ke tempat-tempat transportasi publik dan 71 persennya menuju ke sekolah dan kantor. Serta, 50 persen responden dikatakannya telah meninggalkan kendaraan pribadinya sebagai alat transportasi utamanya karena ojol itu.

"Artinya, ini jadi supporting system untuk alat transportasi yang sudah ada kayak KRL, TransJakarta, LRT, MRT. Jadi, ojol sudah menjadi hub. Bayangkan kalau naikkan tarifnya, kalau dia sudah nyaman dengan tarif sebelumnya, bisa kembali lagi menggunakan transportasi pribadi," tegas dia.

Di samping itu, kata dia, karena mayoritas responden pengguna ojol secara rutin adalah bagian dari masyarakat dengan pendapatan rendah. Maka, masyarakat tersebut sangat rentan atau elastis terhadap pergeseran tarif sekecil apapun biaya tersebut. Hal itu berisiko mengurangi konsumen ojol yang berdampak semakin kecilnya pendapatan mitra.

"Ini ujung-ujungnya bisa mereka (ojol) berhenti. Itu aka merugikan si driver sendiri, kalau ada kenaikan tarif," ungkap Rumayya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya