Investor Harap-harap Cemas, Aksi Perampasan Paksa Saham Marak di RI

Mahasiswa melintas di depan layar pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

VIVA – Para analis pasar modal saat ini sedang menyoroti aksi pengambilalihan paksa kontrol atau kendali (hostile takeover) di tubuh emiten. Aksi yang marak ini dinilai dapat timbulkan ketidakpastian dan membuat cemas investor.

United Tractors Tebar Dividen hingga Total Rp 8,2 Triliun

Salah satu aksi yang terjadi belakangan ini adalah hostile takeover PT Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) dan terakhir PT Jababeka Tbk (KIJA). Aksi ini buat ketidakpastian dan cenderung mengorbankan kinerja perusahaan.

Hostile takeover sendiri biasanya dilakukan dengan cara pengambilalihan paksa, dengan mengambil saham melalui tender offer ataupun membeli saham-saham satu perusahaan di pasar. 

Kinclong Sepanjang Hari, Nilai Transaksi Perdagangan Saham BUMI Capai Rp 412 miliar

Head of Research Department of Koneksi Capital, Alfred Nainggolan menilai, hostile takeover sudah pasti tidak bisa berjalan mulus dan mempengaruhi roda usaha, karena ada masalah pada konflik kepemimpinan di perusahaan.

Dia mencontohkan kisruh di tubuh emiten Jababeka dengan adanya pergantian susunan direksi yang mengejutkan, menandakan proses pergantian manajemen yang di luar kebiasaan. 

Berencana Kuasi Reorganisasi, BUMI Bakal Gelar RUPST dan RUPSLB

"Kejadian seperti ini bisa dikatakan 'hostile takover' terlebih dengan terdiversivikasinya pemegang saham KIJA memperbesar peluang terjadinya hal itu," ujar Alfred dalam keterangannya, dikutip Kamis 25 Juli 2019.

Alfred mengungkapkan, motif dari hostile takeover adalah memperebutkan penguasaan perusahaan (aset) yang sudah pasti aset tersebut punya nilai yang menarik atau strategis. 

Ia juga menilai hostile takeover merupakan faktor extraordinary yang dapat memberikan sentimen negatif bagi kinerja emiten. Sentimen negatif tersebut berupa risiko default kewajiban buyback obligasi. 

“Risiko default yang ada pada KIJA ini bukan disebabkan karena penurunan kinerja, tapi extraordinary faktor, yaitu obligasi yang seharusnya dibayar atau dikembalikan dalam jangka panjang berbuah menjadi jangka pendek,” katanya.

Sementara itu, Ketua Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia (MISSI) Sanusi mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Bursa Efek Indonesia (BEI) mengatur bagaimana mekanisme pemegang saham publik bisa terlibat dalam susunan manajemen perseroan, apabila jumlah saham publik lebih besar dalam satu perusahaan terbuka. 

"Asalkan yang dilibatkan murni pemegang saham publik yang berkumpul, bukan pemegang saham lainnya yang berniat untuk mengambil alih suatu perusahaan," katanya.

Dia menilai hal ini perlu dilakukan agar seluruh tindakan manajemen perseroan bisa berjalan dengan baik sesuai dengan kepentingan seluruh pemegang saham. 

Langkah ini, lanjut dia, juga bertujuan agar perubahan manajemen maupun aksi perseroan bisa dilaksanakan dengan mulus, sehingga tidak merugikan kepentingan pemegang saham publik.

"Di luar negeri ada istilah proxy, yaitu dimana sebagian besar pemegang saham publik bisa memberikan masukan pada perusahaan. Proxy memungkinkan pemegang saham investor publik bisa terlihat dalam mengontrol jalannya perusahaan," terangnya.

Perlu diketahui, kisruh akibat hostile takeover terjadi di tubuh Jababeka. Kabar terbaru menyebutkan tujuh pemegang saham Jababeka mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terkait perkara perubahan susunan direksi dan dewan komisaris KIJA sehingga perusahaan berisiko gagal bayar surat utang senilai US$300 juta. 

Berdasarkan keterbukaan informasi yang dipublikasikan di laman Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin 22 Juli 2019, ada tujuh pemegang saham mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat. Secara keseluruhan, ketujuh pemegang saham ini menguasai 1,02 miliar lembar atau 4,91 persen saham KIJA. [mus]
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya