Harga Eceran Selangit, Hati-hati Rokok Ilegal

Bea Cukai Malang Amankan 433,5 Ribu Batang Rokok Ilegal di Gondanglegi.
Sumber :

VIVA – Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa kandungan setiap rokok pada Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan II menggunakan tembakau dalam negeri 72 persen, cengkeh 22 persen, dan tembakau impor 6 persen.

Bea Cukai Ajak Masyarakat Berantas Rokok Ilegal di Jember dan Banyuwangi

Kemudian, laporan Kementerian Pertanian mengatakan produksi tembakau lokal mencapai 171,36 ribu ton pada 2018, di mana hampir seluruh produksi tembakau lokal terserap industri tembakau dalam negeri. Adapun, Badan Pusat Statistik mengaku produksi cengkeh nasional mencapai lebih dari 140 ribu ton di 2017.

Berdasarkan data-data ini menempatkan Indonesia sebagai produsen cengkeh terbesar di dunia, di mana hampir 90 persen produksi cengkeh nasional diserap oleh industri dalam negeri sebagai bahan baku rokok kretek.

Pasal Tembakau di RPP Kesehatan Dinilai Ancam Pelaku Usaha dan Budaya Indonesia

Tak heran bila saat ini jumlah perokok di Indonesia meningkat, di mana prevalensi perokok laki-laki adalah yang tertinggi di dunia (Riskesdas Kemenkes, 2013).

Indonesia satu-satunya negara di Asia Pasifik yang tak ikut meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) Badan Kesehatan Dunia (WHO). Alasannya, karena dianggap sarat kepentingan asing yang berpotensi 'menamatkan' industri tembakau Tanah Air.

Jalin Sinergi, Bea Cukai Madura dan Satpol PP Bangkalan Gelar Sosialisasi Gempur Rokok Ilegal

Sebagai pengganti, pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 untuk memastikan industri ini dapat dikontrol. Pengamat ekonomi Bayu Kharisma mengaku setuju jika Indonesia tidak meratifikasi FCTC lantaran sudah ada aturan tersebut.

Dampak penggabungan

Rokok.

"Kalau FCTC ditandatangani akan banyak kepentingan asing yang mengendalikan produk tembakau lokal,” kata dia di Jakarta, Jumat, 13 September 2019.

Namun, belakangan ini muncul upaya lain untuk mengubah kebijakan struktur tarif cukai rokok melalui penyederhanaan (simplifikasi) tarif dan penggabungan volume produksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Putih Mesin (SPM). Wacana ini masih menjadi polemik di industri tembakau Indonesia.

Ia kemudian melakukan simulasi untuk mengkaji dampak dari penggabungan SPM dan SKM. Penggabungan volume ini disimulasikan dengan adanya perubahan harga cukai per batang pada golongan II layer 1 dan layer 2 menjadi golongan I.

“Simulasi memperlihatkan penjualan SKM golongan II layer 1 akan turun sebanyak 258 ribu batang per bulan. Sedangkan, SKM golongan II layer 2 turun sebanyak 113 ribu batang per bulan," ungkap dia.

Selanjutnya, kata Bayu, pada jenis rokok SPM penggabungan menyebabkan penjualan SPM golongan II layer 1 turun sebanyak 2.533 juta batang, dan SPM golongan II layer 2 turun 1.593 juta batang.

Akibatnya, perusahaan pada golongan II terpaksa menaikkan harga rokok. Hal itu akan berdampak pada peralihan konsumen ke rokok lain yang lebih murah. Akan tetapi, hingga saat ini harga masih menjadi penentu bagi konsumen rokok di Indonesia.

"Harga jual eceran selangit maka timbul potensi rokok ilegal masuk ke pasaran untuk mengisi rokok dengan harga yang lebih murah. Masalah lain dari penerapan simplifikasi, selain terbentuknya pasar rokok ilegal juga adanya penggelapan pajak,” tuturnya.

Keluhan industri kretek

Bea Cukai Makassar Amankan 15 Juta Batang Rokok Ilegal

Rokok ilegal.

Posisi beberapa negara lain pada FCTC juga seperti pisau bermata dua. Amerika Serikat misalnya. Mereka menandatangani FCTC tapi tidak meratifikasi. Sebab, pabrik produk tembakau besar dunia ada di sana. Begitu pula Swiss, yang juga tidak meratifikasi FCTC. Mereka adalah 'markas besarnya' berbagai produsen tembakau.

Ketua Mitra Produksi Sigaret Indonesia, Joko Wahyudi, meminta pemerintah untuk melindungi segmen rokok kretek, menyusul adanya kebijakan yang membuat pelaku usaha kecil di segmen itu mulai resah.

Permintaan tersebut disampaikan menanggapi keluhan pelaku usaha industri rokok, terkait rencana pemerintah yang akan menaikkan batasan produksi SKT golongan II dari dua miliar menjadi tiga miliar batang.

"Usulan kenaikan batasan produksi SKT golongan II yang diajukan satu perusahaan besar asing ini akan menyebabkan 28 ribu pelinting yang bekerja di pabrikan SKT golongan I akan kehilangan pekerjaan. Tak hanya itu, negara juga berpotensi kehilangan penerimaan cukai sekitar Rp1 triliun," kata Joko.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya