6 Poin Rekomendasi KPK Atasi Defisit BPJS Kesehatan, Tapi Diabaikan

Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan (kiri) didampingi Plt Direktur LHKPN
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

VIVA – Sejumlah pihak kecewa dengan sikap pemerintah yang menaikan iuran BPJS Kesehatan di tengah-tengah pandemi COVID-19 saat ini. Padahal sudah banyak lembaga, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang pernah melakukan kajian soal BPJS dan telah merekomendasikan kepada pemerintah untuk mengatasi defisit.

Pemerintah Harus Antisipasi Kebijakan Ekonomi-Politik Imbas Perang Iran-Israel

Dikatakan Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, pihaknya setelah proses pengkajian ketika itu, sudah menyurati pemerintah dengan masukan enam poin. Sayangnya, Presiden Joko Widodo tak sama sekali menggubrisnya.

“KPK sudah kirim surat rekomendasi untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan, tanpa menaikkan iuran, tapi enggak ditanggapi itu surat,” kata Pahala dikonfirmasi awak media, Kamis, 14 Mei 2020.

Atasi Masalah Kepadatan di Penjara, Israel Usulkan Hukum Mati Tahanan Palestina

Sebelumnya, Presiden Jokowi kembali menerbitkan Perppres Nomor 64 Tahun 2020, yang sekaligus merevisi Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Berikut daftar kenaikannya untuk peserta mandiri yang akan mulai berlaku pada 1 Juli 2020:

Menkominfo Sebut Pemerintah Segera Bentuk Satgas Atasi Darurat Judi Online

Kelas III dari Rp25.500 per orang per bulan menjadi Rp35.000.

Kelas II dari Rp51.000 menjadi Rp100.000

Kelas I dari Rp80.000 menjadi Rp150.000

Adapun KPK telah menyurati Presiden Jokowi pada 30 Maret 2020. Berikut enam poin rekomendasi KPK kepada Pemerintah untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan:  

1. Pemerintah c.q Kementerian Kesehatan agar segera menyelesaikan PNPK (Pedoman

Nasional Praktik Kedokteran) untuk seluruh jenis penyakit yang diperlukan. Kasus klaim operasi katarak dan rehabilitasi medik (fisioterapi) tahun 2018 merupakan contoh dimana ketiadaan PNPK dapat menyuburkan unecessary treatments yang berujung pada pengeluaran yang tidak perlu. Saat ini baru 33 dari 74 PNPK (45 persen) yang telah diselesaikan dan menjadi panduan penangan penyakit sebagai dasar klaim ke BPJS kesehatan dan masih ada 60 PNPK judul baru yang diusulkan hingga tahun 2024. Sebagai rujukan, pada praktek di negara maju dengan PNPK yang relatif jelas, praktek unnecessary treatment masih tetap terjadi pada tingkat 5-10% dari total klaim.Tanpa adanya PNPK yang lengkap maka dipastikan persentase akan lebih tinggi.

2. Penertiban kelas Rumah Sakit (RS) perlu disegerakan. Tahun 2018, KPK, Kemenkes dan BPJS kesehatan mengunjungi 6 (enam) RS, dimana 4 (empat) RS mengajukan klaim ke BPJS dengan kelas RS yang tidak sesuai dengan standar Kemenkes. RS tersebut seharusnya mengajukan klaim dengan kelas yang lebih rendah. Over-payment dari klaim 4 RS ini bernilai 33 Milyar/ tahun atau 8,25 Miliar tiap Rumah Sakit per tahun. Kemenkes telah melakukan reviu terkait kelas RS se-lndonesia dan klaim ke BPJS. Didapati 898 (Delapan Ratus Sembilan Puluh Delapan) RS tidak sesuai kelasnya (Kelas RS ditetapkan oleh Dinas Kesehatan).

Kami merekomendasikan agar surat Kemenkes HK.04.01/1/2963/2019 tentang hal diatas segera ditindaklanjuti dengan penurunan kelas RS berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Dinas Kesehatan pemerintah daerah. Penertiban ini akan berdampak pada berkurangnya over-payment sekitar 6 Triliun Rupiah setiap tahun secara signifikan karena klaim RS berdasarkan kelas.

3. Kebijakan mengenai urun biaya (co-payment) untuk peserta mandiri sebagai mana sudah diatur dalam Permenkes 51 tahun 2018 tentang Urun biaya dan selisih biaya dalam program Jaminan Kesehatan, agar segera diimplementasikan. Urun biaya merupakan upaya untuk meminta kepada peserta yang mampu kesediaan menanggung 10 persen dari biaya kesehatan.

Upaya ini perlu segera dilakukan karena klaim dari peserta mandiri justru jauh lebih besar dari penerimaan iurannya. Kami juga merekomendasikan agar urun biaya dikenakan berjenjang tergantung kelas serta besaran klaim atau jenis penyakit. Per akhir 2018, total klaim dari peserta mandiri (PBPU) mencapai 22 Triliun Rupiah. Sehingga co-payment? sebesar 10 persen akan menghemat pengeluaran BPJS sebesar 2,2 Triliun Rupiah. Urun-biaya dapat dinaikkan hingga 30% untuk peserta mandiri kelas 1, lebih rendah untuk kelas 2 dan seterusnya.

4. Kebijakan pembatasan manfaat untuk klaim atas penyakit katastropik agar mulai dikenalkan sebagai bagian dari upaya pencegahan (preventif). Penyakit yang muncul karena gaya hidup misalnya merokok, kurang gerak badan, makan berlemak dan manis, dan Iain-lain saat ini mendominasi total klaim. Untuk itu, manfaat yang diberikan untuk peserta dengan riwayat gaya hidup tidak sehat perlu segera dibedakan dan dibatasi.

Per akhir 2018 klaim atas penyakit katastropik mencapai 28 Triliun Rupiah (30 persen dari total klaim), sehingga pembatasan manfaat akan mengurangi pengeluaran secara signifikan.

5. Kebijakan Coordination of Benefit (CoB) dengan asuransi kesehatan swasta perlu segera diakselerasi implementasinya. Saat ini sektor swasta membayar iuran BPJS Kesehatan karena regulasi mewajibkan, sementara tetap membayar premi asuransi swasta lain bagi pegawainya untuk kemudahan pelayanan ketika sakit. Kementerian Kesehatan harus memimpin dan mengakselerasi CoB agar biaya kesehatan bisa ditanggung bersama antara swasta dan pemerintah.

Praktek di negara Jepang dan Korea penerapan CoB sebesar 20-30 persen. Bila diterapkan di Indonesia menunjukkan bahwa CoB dapat mengalihkan klaim ke asuransi swasta sebesar 600 Miliar Rupiah per tahun.

6. Untuk mengatasi tunggakan iuran dari peserta mandiri dan merujuk pada kasus serupa di BPJS Tenaga Kerja beberapa waktu yang lalu, kami merekomendasikan untuk mengaitkan kewajiban membayar iuran BPJS Kesehatan dengan pelayanan publik. Misalnya untuk pelayanan perpanjangan SIM, STNK, Imigrasi dsb. Sehingga peserta mandiri mendapatkan pelayanan publik secara penuh ketika kewajiban pembayaran iuran sudah dipenuhi.

Baca: Iuran Naik, Dirut BPJS Kesehatan Bela Jokowi

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya