Heboh Kabar Merger Grab dan Gojek, Siapa yang Untung

Gojek dan Grab.
Sumber :
  • Nikkei Asian Review

VIVA – Isu bergabungnya Grab dan Gojek di tengah pandemi COVID-19 semakin santer saat ini. Hal itu diduga ada pengaruh pemegang saham mayoritas Grab, SoftBank, yang sedang tertekan saat ini.

Sopir Taksi Online yang Todong Penumpang Wanita dan Minta Rp 100 Juta Ditangkap saat Tidur Pulas

Business Development Advisor Bursa Efek Indonesia (BEI), Poltak Hotradero, mengungkapkan investasi SoftBank di banyak startup rugi besar. Pada tahun fiskal 2019 kerugian SoftBank mencapai US$ 17,7 miliar. 

"Kegagalan investasi di WeWork paling fatal," ujar Poltak dikutip dari keterangannya, Senin, 21 September 2020.

Viral Curhat Penumpang Dipaksa Transfer Uang Rp100 Juta oleh Driver Taksi Online

Baca juga: Isu Terbaru Gojek dan Grab: Diskon hingga Merger

Lebih lanjut, Poltak mengungkapkan, situasi semakin rumit lantaran adanya komitmen Grab terkait akuisisi saham Uber di Asia beberapa waktu lalu.

GoTo Rugi Rp 90 Triliun pada 2023, Manajemen Ungkap Penyebabnya

Sesuai prospektus Initial Public Offering (IPO) Uber, Poltak mengatakan, Uber memiliki hak untuk menukarkan 23,2 persen kepemilikan sahamnya di Grab dengan uang tunai jika Grab tidak melangsungkan IPO hingga 25 Maret 2023.

"Jika Uber mengeksekusi haknya untuk mencairkan kepemilikan sahamnya, maka Grab harus membayar Uber sebesar US$2,26 miliar atau lebih. Nilai tersebut setara dengan 409 juta saham Grab yang dimiliki Uber dengan harga US$5,54 per saham dengan bunga sebesar 6 persen per tahun," kata Poltak.

Dia mengungkapkan, portofolio Vision Fund yang merupakan kepanjangan tangan Softbank, tersebar di banyak perusahaan. Nilainya ditaksir mencapai sekitar US$33 miliar hanya di sektor transportasi dan logistik. 

Beberapa di antaranya ada di aset ride-sharing US$7,7 miliar di Uber, USS11,8 miliar ke Didi China, US$3 miliar ke Grab Singapura, dan US$ 250 juta ke dalam Ola India.

Jika benar terjadi, menurut Poltak, merger antara Grab dan Gojek akan menemui beberapa kesulitan. Misalnya, filosofi dan kultur antara kedua perusahaan ride-hailing tersebut berbeda.

Grab fokus menguasai pasar regional. Makanya, unit bisnis Uber di Asia Tenggara diakuisisi oleh Grab dalam rangka memperluas pasar Grab. Sementara Gojek sejak awal lebih fokus menggarap pasar Indonesia sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara.

Dengan menguasai pasar Indonesia, Gojek akan lebih leluasa dan mudah menerapkan strateginya untuk menggarap pasar di luar negeri.

Hal lainnya adalah konsep dan strategi antara Grab dan Gojek juga berbeda. Grab saat ini masih fokus pada bisnis transportasi yang melayani pengantaran orang maupun barang. Sementara, Gojek sudah jauh berkembang bukan hanya terbatas pada bisnis transportasi. Bisnis Gojek kini juga bergerak dengan cepat ke arah pembayaran non-tunai melalui Gopay.

"Gopay sendiri statusnya sudah decacorn," kata Poltak.

Poltak menegaskan, saat ini perusahaan ride-hailing sebenarnya tidak bisa menutupi biaya jika hanya mengandalkan lini bisnis transportasi. Apalagi, jika perusahaan terus-menerus menerapkan strategi bakar uang.

"Jika Grab yang mengakuisisi Gojek, valuasi Gopay harus dihitung. Sementara bagi Gojek mereka tidak membutuhkan akusisi itu karena semua yang ada di Grab sudah ada di Gojek," ujar Poltak. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya