Ekonomi China Melemah, Penjualan Fesyen Terkenal Anjlok

Koleksi Cruise 2015 Louis Vuitton
Sumber :
  • REUTERS/Jean-Pierre Amet
VIVA.co.id
Menanti Data Inflasi China, Bursa Asia Dibuka Naik
- Perusahaan di negara barat yang memproduksi merek terkenal barang mewah, seperti  mendapatkan hantaman keras dari Bank Rakyat China (
The People’s Bank of China
Volume Ekspor China Meningkat, Bawa Angin Segar bagi RI?
) pada pekan lalu. 

Investor China Akan Relokasi Pabrik ke Indonesia
Kenapa? Karena bank sentral Negara Panda tersebut tiba-tiba memutuskan melakukan pelemahan (devaluasi) mata uangnnya, yuan, sebesar 3 persen dalam jangka waktu dua hari.

Dilansir dari Business Insider, Jumat 21 Agustus 2015, pelemahan Yuan membuat produsen merek-merek terkenal tersebut mengorbankan keuntungannya dari impor internasional. Barang-barang yang diproduksi di Amerika Serikat (AS) atau Eropa, tiba-tiba menjadi mahal bagi pembeli yang berpendapatan yuan. 

Baca juga:

Ketika China mendevaluasi mata uangnya, investor di AS mulai memperkirakan bahwa keuntungan beberapa perusahaan besar produsen barang mewah akan menurun. Dengan seketika, saham Salvatore Ferragamo, LVMH, Richemont, Swatch dan Burberry pun akhirnya merosot lebih dari 5 persen. 

Analis dari Deutsche Bank dalam catatannya menunjukkan betapa bergantungnya pengecer barang-barang bermerek tersebut dengan pengecer di China. Sekitar 10-20 persen dari pendapatan merek ternama tersebut berasal dari Negara Tirai Bambu tersebut. 

Pendapatan jam tangan mewah merek Swatch misalnya, 20 persennya diperoleh dari pasar China. Diikuti oleh Ferragamo, Gucci, Burberry sebesar 14 persen, kemudian Hermes 12 persen, Prada dan Moncler 11 persen serta Louis Vuitton 10 persen. 

Baca juga:

Jumlah pendapatan tersebut terus naik lebih tinggi bahkan lebih besar dibandingkan pendapatan merek-merek terkenal tersebut di negara asalnya. Apalagi, banyak wisatawan kaya asal China yang mungkin berbelanja di Hong Kong, Jepang atau Eropa. 

Memiliki basis penjualan yang solid di China merupakan prospek yang menggiurkan untuk perusahaan-perusahaan tersebut dalam beberapa tahun terakhir. Di tengah stagnannya penjualan di seluruh dunia, konsumen China, terutama kelompok berpenghasilan lebih tinggi, terkenal suka menghabiskan uang untuk berbelanja seperti tidak ada hari esok.

Tapi, perlambatan ekonomi Negara Panda tersebut akan tercermin dalam kinerja perusahaan-perusahaan. Deutsche Bank mencatat bahwa devaluasi 5 persen yuan akan memukul keuntungan penjualan barang-barang mewah itu rata-rata 4 persen tahun ini. (one)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya