Pemerintah Diminta Bijak Tetapkan Kebijakan Cukai Rokok 2016

Rokok.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan merupakan salah satu industri strategis bagi Indonesia. Sebab, industri ini menjadi penyumbang utama penerimaan cukai negara dan mampu menciptakan lapangan kerja cukup besar. 

5 Aturan Baru Ini Mulai Berlaku di Indonesia pada Januari 2024

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati menjabarkan pada 2015, IHT mampu memberikan pemasukan cukai mencapai Rp139,5 triliun.

"Artinya, 96 persen penerimaan cukai sangat bergantung pada IHT, atau berkontribusi 11,7 persen terhadap total penerimaan pajak negara. Nilai tersebut, belum termasuk penerimaan PPN yang mencapai lebih dari Rp20 triliun dan pajak rokok sebesar Rp14 triliun,” kata Enny dikutip dari keterangan resminya, Jumat 12 Agustus 2016.

Pajak Rokok Elektrik Resmi Berlaku 1 Januari 2024, Kemenkeu: Demi Keadilan

Karena, strategisnya posisi IHT dalam perekonomian, setiap kebijakan yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja IHT harus dilakukan dengan pertimbangan yang komprehensif. 

"Apalagi, jika kebijakan tersebut justru berdampak kontra produktif. Sebagaimana halnya ketika pemerintah memutuskan untuk terus menaikkan cukai IHT secara masif. Akibatnya, pertumbuhan penerimaan cukai justru menurun, bahkan tujuan untuk mengendalikan produksi rokok juga meleset,” lanjutnya.

Terpopuler: Cukai Bikin Harga Rokok Naik hingga Prabu Revolusi Dipecat TPN Ganjar-Mahfud

Enny menegaskan, ketika kenaikkan cukai tanpa disertai infrastruktur atau penegakkan hukum  yang jelas dan tegas, maka yang terjadi justru berpotensi semakin meningkatkan peredaran rokok illegal. Dengan demikian, potensi pendapatan negara justru turun dan target untuk mengendalikan produksi rokok juga tidak tercapai.

Untuk itu, ia meminta pemerintah harus bijak menanggapi adanya wacana di masyarakat, bahwa harga rokok idealnya Rp50 ribu per bungkus. 

"Harus ada kajian yang komprehensif terlebih dahulu akan dampak dari kebijakan tersebut. Bisa jadi, kebijakan tersebut justru kontradiktif. Artinya, target peningkatan penerimaan cukai belum tentu tercapai, tetapi justru berisiko mengganggu kinerja IHT,” tambah Enny.

Ia melanjutkan, sekali pun harga rokok di Indonesia secara nominal lebih murah daripada di negara tetangga, tetapi daya beli masyarakat Indonesia juga lebih rendah. Jadi, ketika minat masyarakat membeli rokok cukup tinggi di tengah lemahnya daya beli, di sana ada insentif ekonomi untuk terjadinya perdagangan illegal.

Enny menambahkan, berdasarkan studi dari Universitas Gadjah Mada di tahun 2014, diketahui bahwa dengan tingkat cukai yang ada, perdagangan rokok Ilegal telah mencapai 11,7 persen dan merugikan negara hingga triliunan rupiah. 

Selain itu, kebijakan terkait kenaikan cukai dan harga rokok harus mempertimbangkan kondisi industri dan daya beli masyarakat saat ini. Dengan membandingkan harga rokok dengan pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita di beberapa negara tetangga.

“Misalnya di Malaysia dan Singapura, maka harga rokok di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan dua negara tersebut,” katanya. 

Di semester pertama 2016, sebagai akibat dari kenaikan cukai sebesar 15 persen di awal tahun, volume industri tengah mengalami penurunan sebesar 4,8 persen. Pemerintah diminta untuk fokus pada ekstensifikasi, bukan hanya fokus pada penambahan cukai di IHT saja.

Indonesia  menurutnya, termasuk negara yang sangat sedikit memiliki barang obyek kena cukai. Saat ini, hanya tiga barang, yaitu rokok, minuman beralkohol dan etil alkohol. Sedangkan di negara-negara di kawasan ASEAN jauh lebih banyak dari Indonesia.

“Misalnya di Singapura dan Filipina, sebanyak lima barang, India delapan barang dan Thailand 11 barang. Untuk itu, pemerintah tidak usah ragu lagi untuk melakukan ekstensifikasi obyek cukai,” tuturnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya