DPR Soroti Laporan Keuangan SKK Migas yang Tak Wajar

Kantor SKK Migas
Sumber :
  • ANTARA/Dhoni Setiawan

VIVA.co.id – Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat menyoroti laporan keuangan lembaga Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang mendapat opini Tidak Wajar dari Badan Pemeriksa Keuangan. 

Dukung Produksi, 15 Proyek Migas Siap Beroperasi di 2024

Wakil Ketua Komisi VII DPR, Mulyadi mengakui mendapat pengaduan dari komisi lain di di DPR akan opini TW di lembaga tersebut. Bahkan, lanjut dia komisi lain mempertanyakan kinerja Komisi VII dalam melaksanakan fungsi pengawasan Komisi VII terhadap SKK Migas. 

Ia memandang perlu penjelasan dari SKK Migas terkait dengan temuan BPK tersebut untuk mencari kebenaran. "Maka dari itu, kami di sini Komisi VII minta penjelasan atas status Tidak Wajar itu kepada SKK Migas," kata Mulyadi di komisi VII DPR RI, Senin 5 Desember 2016. 

Target Investasi Hulu Migas 2023 Tak Capai Target, Kepala SKK Migas Ungkap Kendalanya

Menjawab hal itu, Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi berdalih bahwa status Tidak Wajar yang diperoleh lembaganya karena adanya perbedaan standar sistem akuntansi yang diterapkan oleh BPK dengan standar akuntansi yang seharusnya. 

Amien  mengklaim, bahwa pihaknya telah melakukan laporan keuangan sesuai dengan kesepakatan dengan BPK. Ia menjelaskan, pihaknya telah  menyiapkan laporan keuangan dengan menggunakan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP).

EMP Temukan 126 Miliar Kaki Kubik Gas di Blok Bentu

Selanjutnya, kedua laporan keuangan tersebut pada akhirnya hanya dipilih satu. Auditor BPK memutuskan untuk memilih SAK untuk menjadi rujukan pemeriksaan. 

Hanya saja, BPK telah melakukan kekeliruan, karena tidak mengeluarkan opini untuk laporan keuangan dengan menggunakan metode SAK. Mereka malah mengeluarkan opini menggunakan Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum (PABU).

Amien memaparkan apa yang menjadi kekeliruan BPK sehingga menyebabkan pemberian status opini tidak wajar kepada SKK Migas. Pertama, lanjut dia, dalam metode SAK, kewajiban SKK Migas terhadap pesangon pegawai harus dimasukan dalam neraca dan dicantumkan laporan keuangan.

"Namun, menurut BPK, hal tersebut tidak perlu dimasukkan. Tetapi, karena SKK Migas menggunakan SAK, maka, hal tersebut tetap dimasukan. Hal ini lah yang menjadi perbedaan dalam melakukan perhitungan," kata dia. 

Amien juga mengungkapkan ada perihal kedua yang tidak dimasukkan BPK dalam membuat opini laporan keuangan. Hal itu terkait dengan dana pemulihan tambang pasca eksplorasi migas atau abandonment and site restoration (ASR). SKK Migas juga dianggap tidak sesuai standar Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 09. 

Sedangkan, berdasarkan hasil diskusi dalam Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) bahwa standar akuntansi tersebut sudah tak lagi digunakan sejak tahun 1999.

"Ikatan bilang standar PSAK itu sudah dicabut 1999. Kalau saya berdebat lagi jadi mencoreng (nama) teman-teman BPK. Nanti, Kalau saya mendebat juga akan mencoreng konsistensi auditor," kata dia. 

(mus)


 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya