Ekstensifikasi Cukai Bisa Dongkrak Penerimaan Negara

Pameran Industri Plastik, Kemasan dan Cetak
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id – Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai, ekstensifikasi barang kena cukai bisa menjadi alternatif penerimaan negara, ketika pendapatan pajak serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) belum dapat diandalkan dalam kondisi saat ini.

Yuk Simak! Keberlanjutan Pemulihan Ekonomi Nasional 2022

"Penerimaan Kepabeanan dan PNBP tidak dapat diandalkan saat ini, terlebih bergantung pada utang luar negeri. Di sisi lain, cukai dapat menjadi pilihan jitu sebagai penerimaan," kata Direktur Eksekutif CITA, Yustinus Prastowo melalui keterangan tertulis, Kamis 9 Februari 2017.

Selama kurun 2007-2014, realisasi penerimaan cukai selalu di atas target. Namun, rasio penerimaan cukai terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain, yaitu 1,2 persen. Angka ini berbeda jauh dengan Bolivia, Turki, Denmark, masing-masing 7,8 persan, 5 persen, dan 4,3 persen.

Buka Beasiswa LPDP 2022, Menkeu Minta Pengelola Dana Abadi Transparan

Salah satu penyebabnya adalah masih terbatasnya objek cukai. Ini membuka peluang bagi Indonesia untuk melakukan ekstensifikasi barang kena cukai.

Yustinus menjelaskan, dengan pertimbangan eksternalitas dan best practice di negara lain, penambahan objek cukai baru yang dapat dipertimbangkan adalah minuman ringan berpemanis, kendaraan bermotor, dan bahan bakar minyak.

Sri Mulyani: Subsidi Jadi Belanja APBN Terbesar pada Januari 2022

Dengan skema tarif terendah dan tertinggi, pengenaan objek cukai baru ini mampu menghasilkan tambahan penerimaan Rp28,52 triliun - Rp103,26 triliun atau 18,11 persen-65,69 persen dari target cukai dalam APBN 2017.

Dengan demikian, tujuan cukai sebagai pengendalian konsumsi terpenuhi, namun perannya sebagai instrumen penerimaan negara optimal. Selain itu, keberanian pemerintah menambah objek cukai juga menjadi batu uji dan menunjukkan komitmen pada konsolidasi fiskal yang sehat “Serta bukti bahwa kebijakan yang responsif dan terukur, selain menguntungkan rakyat juga menjaga kesinambungan fiskal," ujarnya menjelaskan.

Senada dengan Yustinus, anggota DPR RI Komisi XI Andreas Eddy Susetyo mengaku sepakat dengan ekstensifikasi cukai. DPR menurutnya, sudah dua kali bertemu di pekan ini untuk membahas penambahan objek baru cukai. Hal utama yang menjadi permasalahan adalah, saat ini 90 persen cukai bertumpu pada rokok. Padahal, objek lain pun harus dikenai cukai. “Kalau kita lihat definisikan arti cukai sebagai pembatasan, coba kita hitung, berdasarkan data kesehatan dari BPJS (Badan Penyelengara Jaminan Sosial) berapa orang yang terkena penyakit diabetes?” kata Andreas. 

Lalu, mengenai konsumsi bahan bakar minyak (BBM), Indonesia sepakat untuk berkomitmen menurunkan emisi karbon dalam Paris Agreement. Sehingga, BBM pun bisa dijadikan objek cukai baru. “Saya kira ekstensifikasi ini, terutama di cukai, bisa menjadi salah satu pilihan yang sebetulnya sangat vital untuk meningkatkan penerimaan negara, di samping tindak lanjut dari pada tax amnesty,” tuturnya.

Andreas mengingatkan, tahun ini risiko inflasi dan penerimaan negara akan menjadi tantangan utama. “Untuk itu ekstensifikasi menjadi solusi yang harus diperhitungkan secara cepat.”

Sebelumnya, Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi menjelaskan, bahwa usulan ekstensifikasi akan terus dikaji, terutama barang yang sudah melewati proses kajian, seperti plastik. "Mengenai apa saja tentu nanti setelah kajian itu lengkap dan dibicarakan antarinstansi dan pihak-pihak terkait, apakah itu sektor dan pelaku," ujar Heru beberapa waktu lalu. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya