Kementan Tanggapi Isu Kesejahteraan Petani Turun

Ilustrasi petani.
Sumber :

VIVA.co.id – Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian, Agung Hendriyadi membantah tudingan pengamat ekonomi Faisal Basri yang menyatakan, validasi data pertanian dan pangan nasional yang dimiliki oleh Kementerian Pertanian (Kementan) tidak valid.

Jokowi Lihat Langsung Panen Raya di Sigi: Bagus Hasilnya Capai 6 Ton per Hektare

Menurutnya, data-data pertanian dan pangan nasional yang selama ini menjadi rujukan Kementan adalah data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) melalui sistem monitoring luas tanam dan panen padi melalui citra satelit landsat bekerjasama dengan LAPAN.  

Tidak hanya itu, lanjut Agung, sistem kerja satelit yang digunakan untuk monitoring pertanian oleh BPS sangat efisien. Sebab, sistem monitoring itu memiliki resolusi spasial tinggi 30x30m dan temporal 16 hari. Selain itu, katanya, sistim perhitungan data juga dilakukan dengan cara komputerisasi, minimalisir personal error dan fairness karena dapat divalidasi para pihak melalui http://sig.pertanian.go.id.

Program Petani Milenial Kaltim Diluncurkan untuk Ketahanan Pangan IKN

"Kita juga tahu BPS adalah satu lembaga resmi yang mempunyai otoritas dan kompetensi di bidang perstatistikan dan memiliki hierarki langsung dari pusat sampai kecamatan. Dan BPS juga telah banyak menghasilkan data-data nasional yang diterima para pihak seperti, data inflasi, pertumbuhan ekonomi, ekspor-impor, kemiskinan, dan lainnya. Kenapa Fasial Basri meragukan data pangan kita yang notabene juga dihasilkan BPS?" kata Agung melalui keterangan tertulis kepada VIVA.co.id, Sabtu 18 Maret 2017.

Selain itu, Agung pun membantah pernyataan mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas itu yang sebelumnya mengatakan kesejahteraan petani Indonesia saat ini menurun.

Orang Kaya Madura Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran: Kami Titipkan Nasib Petani Tembakau

"Tentu bukan hanya NTP bulanan saja indikatornya, namun data kemiskinan perlu dipertimbangkan. 90 persen petani itu berada di pedesaan dan data BPS menunjukkan tingkat kemiskinan di pedesaan semakin membaik," ujarnya.

Terkait dengan masalah disparitas harga yang masih cenderung tinggi, menurut Agung hal itu disebabkan terjadinya anomali harga di tingkat pasaran. Ia menilai, setidaknya ada dua struktur pasar di Indonesia dan memiliki faktor pembentuk harga berbeda-beda di pasaran.

Pertama, harga gabah di tingkat petani sangat jelas pembentuk harga ditentukan oleh hukum supply-demand yaitu di saat panen raya harga jatuh dan sebaliknya. Uji statistik pun menunjukan hubungan negatif antara harga dan pasokan. Sehingga data harga tingkat produsen bisa dikatakan valid dan mencerminkan perdagangan sehat.

Kedua, harga beras di tingkat konsumen baik berdasarkan uji statistik maupun fakta lapang menunjukan tidak semata ditentukan oleh pasokan, tetapi pembentuk harga ditentukan oleh sistem distribusi, logistik, struktur dan perilaku pasar.  

"Pada kondisi seperti ini terlihat terjadi disparitas harga yang tinggi, asimetri informasi dan anomali pasar. Perilaku pasar sangat mempengaruhi harga tingkat eceran. Pasokan meningkat pun direspon harga tetap tinggi, sehingga tidak mencerminkan hukum supply-demand. Perilaku pasar tidak sehat seperti mafia, kartel, pengatur harga dan lainnya sangat merugikan petani dan konsumen," tutupnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya