Dilema Negara, Harus Kejar Cukai Tembakau dan Tekan Rokok

Ilustrasi penangkapan rokok Ilegal tanpa cukai di Sulawesi.
Sumber :

VIVA.co.id – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan terus berupaya meningkatkan penerimaan negara, tidak hanya dari penerimaan pajak, melainkan juga penerimaan bea dan cukai. Salah satunya, adalah dengan menaikkan tarif cukai rokok yang hampir dilakukan setiap tahunnya.

Rokok Ilegal Makin Marak, Kenaikan Cukai Dinilai Tak Efektif Kendalikan Konsumsi

Tahun depan, pemerintah berencana kembali menaikkan tarif cukai rokok sejalan langkah pengendalian, dan menekan angka konsumsi rokok. Hal ini sekaligus mengafirmasi, adanya kenaikan penerimaan cukai rokok tahun depan yang mencapai Rp148,2 triliun, dari tahun ini sebesar Rp147,5 triliun.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo tak memungkiri, perlu adanya reformasi struktur tarif cukai hasil tembakau yang memang selama ini berkontribusi hampit 80 persen terhadap penerimaan bea dan cukai. Apalagi, sejak 2014, penerimaan bea dan cukai mengalami stagnansi.

5 Aturan Baru Ini Mulai Berlaku di Indonesia pada Januari 2024

Menurut Prastowo, struktur tarif cukai hasil tembakau saat ini masih jauh dari kata sederhana, dan terbilang paling rumit di dunia. Banyaknya lapisan tarif tiap jenis rokok yang diproduksi oleh beberapa perusahaan, menjadi salah satu alasan struktur tarif cukai tembakau belum melindungi usaha kecil.

“Padahal, semakin sederhana suatu sistem administrasi, semakin tinggi tingkat kepatuhan,” kata Prastowo, dalam sebuah diskusi, Jakarta, Selasa 22 Agustus 2017.

Pajak Rokok Elektrik Resmi Berlaku 1 Januari 2024, Kemenkeu: Demi Keadilan

Prastowo mengakui, prinsip pengendalian konsumsi rokok memang mau tidak mau memberikan dampak terhadap pendapatan negara melalui penerimaan yang berasal dari cukai hasil tembakau. Demi meningkatkan efektivtas, maka reformasi struktur tarif cukai hasil tembakau pun perlu segera dibenahi oleh pemerintah.

Apalagi dengan pengendalian tersebut, pemerintah telah berhasil menekan angka pabrikan rokok yang tadinya berjumlah 2.000 menjadi di kisaran 700 pabrikan. Hal ini turut mengerek angka produksi rokok yang terus mengalami penurunan pertumbuhan produksi seperti di 2016 yang mencapai minus 1,76 persen.

“Apakah, kita mendorong orang konsumsi rokok, supaya penerimaan pajak tercapai? Ini juga menjadi dilema bagi pemerintah,” katanya.

Salah satu yang direkomendasikan untuk mengoptimalisasi struktur tarif cukai tembakau adalah dengan mengurangi lapisan tarif rokok menjadi sembilan lapis, dan menggabungkan kapasitas produksi rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin. Ini merupakan strategi dalam jangka pendek.

“Jika lapisan rokok SKM digabungkan, penerimaan cukai akan berpotensi bertambah sebesar Rp3,9 triliun,” ujarnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya