Pembatasan Impor Bahan Baku Lebih Baik Pakai Sistem Tarif

Dua pekerja di Pelabuhan Peti Kemas Tanjung Priok tengah melintas dengan sepeda motor.
Sumber :
  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

VIVA.co.id – Munculnya rancangan peraturan larangan dan pembatasan (Lartas) impor bahan baku industri sedang menjadi topik pembahasan di kalangan pelaku industri. Pemerintah diharapkan menentukan skema yang tepat dalam regulasi impor bahan baku industri.

Neraca Perdagangan Januari Surplus, BI: Positif Topang Ketahanan Eksternal Ekonomi RI

Hal ini mengingat komoditas impor seperti jagung, gula, garam dan tembakau merupakan bahan baku utama bagi industri.

Deputi III Kepala Staf Kepresidenan, Denni Puspa Purbasari, mengatakan, kebijakan impor bahan baku industri akan lebih baik menggunakan skema tarif, dibandingkan skema kuota. Alasannya, dengan skema tarif, pemerintah bisa mengendalikan harga dengan efektif.

Neraca Perdagangan RI Surplus, BI: Topang Ketahanan Eksternal Ekonomi Indonesia

“Target Presiden menginginkan peringkat ease of doing business (kemudahan berbisnis/EoDB) Indonesia naik ke-40, dan di dalam EoDB ada indikator perdagangan lintas perbatasan. Terkait ini semua kementerian dan lembaga perlu berhati-hati dalam mengeluarkan regulasi termasuk Lartas, karena sangat terkait dengan daya saing industri,” ujar Denni seperti dikutip dari siaran persnya di Jakarta, Minggu 27 Agustus 2017.

Skema tarif, lanjutnya, menjadikan persaingan harga lebih adil. Tarif impor bahan baku industri juga sebaiknya lebih rendah dibandingkan non bahan baku.

Neraca Perdagangan Oktober Surplus, BI: Topang Ketahanan Eksternal Ekonomi

Dengan demikian, pemerintah tetap bisa melindungi produsen bahan baku industri lokal dengan menerapkan tarif impor dengan besaran tertentu. Sebaliknya, negara memperoleh pemasukan dari bea masuk tarif yang ditentukan.

Menurut Pakar Perpajakan, Yustinus Prastowo, sistem kuota rawan dimanipulasi. “Sistem kuota rawan diperjualbelikan dan rawan rent seeker (kaum kapitalis),” ujarnya.

Sementara dari pelaku usaha, perwakilan dari Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia, Fedaus, mengharapkan agar kebijakan perdagangan, khususnya Lartas impor sektor tembakau, dapat menyesuaikan kondisi di lapangan. Dikarenakan, kinerja industri tembakau nasional sudah tidak bertumbuh sejak tahun 2014 dan terus mengalami penurunan.

"Kebijakan Lartas yang sedang dirumuskan oleh Pemerintah seyogianya jangan menjadi tambahan beban bagi industri, dan harus memberikan grace period (kelonggaran waktu) untuk memastikan kesiapan para pelaku usaha.” (one)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya