- ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
VIVA.co.id – Ekonom Senior INDEF Bustanul Arifin mengatakan, harga beras Indonesia 1,7 kali lebih mahal dari harga beras internasional. Hal itu menjadi indikasi kemungkinan adanya masalah suplai.
Ia lalu mengambil contoh harga beras di Thailand terakhir Rp5.200 per kilogram, di Indonesia harga grosir Rp9.100 per kg dan harga eceran sampai Rp13 ribu per kg.
"Apalagi cari beras di lapangan tidak mudah. Mau pengadaan pun sulit. Kalau supply bermasalah, kalau ada shocked sedikit lebih bahaya," ujar Bustanul di daerah Cikini Jakarta pada Sabtu, 9 September 2017.
Jika suplai cukup, maka harga tidak akan naik. Kenyataannya, harga saat ini cenderung stabil di atas. Sehingga, yang perlu diprioritaskan seharusnya adalah meningkatkan produktivitas.
"Stabilisasi harga beras tergantung dari harga produksi dan juga stok. Kalau di situ stok aman, enggak harus bikin HET (Harga Eceran Tertinggi)," ucapnya.
HET menurutnya seharusnya menjadi pilihan terakhir (last action) pemerintah. Ia memaparkan, HET adalah presscontrol, bermanfaat kalau memang ada instrumen dan ada institusi yang mampu mengamankannya, dengan mengawasi dan membina hingga tingkat daerah. Sekarang, ia menilai kondisinya belum demikian.
Sementara itu, ia melanjutkan kemungkinan produksi bermasalah itu letaknya ada di data yang tidak valid. Kedua, masalah cuaca dan hama. "Total serangan memang kecil, kalau satu persen, tapi dikali 70 juta ton (estimasi produksi), jumlahnya besar 700 ribu ton. Itu sangat mungkin," ujarnya.
Lalu ketiga, masalah konversi lahan. Ketiga masalah tersebut terakumulasi dan berkembang dengan dinamis. Sehingga, orang-orang berebut barang, termasuk Bulog dengan menonjolkan harga. (mus)