Transfer Rp19 T Nasabah RI di Stanchart untuk Hindari Pajak?

Kantor cabang Bank Standard Chartered di Hong Kong
Sumber :
  • REUTERS/Bobby Yip/Files

VIVA.co.id – Direktorat Jenderal Pajak menegaskan akan menelusuri laporan Standard Chartered Plc atas transfer dana janggal sebesar US$1,4 miliar atau setara Rp18,9 triliun milik warga negara Indonesia. Aliran dana tersebut, diduga kuat untuk menghindari kewajiban perpajakan.

Bank Danamon Bersiap Caplok Bisnis Kredit Ritel Standard Chartered

“Informasi itu nanti pasti kami tindak lanjuti,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama melalui pesan singkatnya kepada VIVA.co.id, Jakarta, Sabtu 7 Oktober 2017.

Saat ini, regulator perbankan di kawasan Eropa dan Asia tengah melakukan investigasi terhadap Standard Chartered Plc atas dana janggal yang disetor dari Standard Chartered Bank Guernsey Inggris ke Singapura pada akhir 2015 lalu itu. Ada alasan tersendiri, regulator memeriksa aliran dana tersebut.

Standard Chartered Sebut ASEAN Punya Peluang Kembangkan Energi Berkelanjutan

Kiriman dana janggal tersebut dilakukan, sebelum diberlakukannya kesepakatan pertukaran informasi secara otomatis terkait dengan perpajakan. Investigasi tersebut, saat ini tengah dilakukan bank sentral Singapura dan otoritas keuangan Guernsey, dan diduga kuat ada unsur penghindaran pajak.

Meskipun akan menindaklanjuti adanya dugaan penghindaran pajak, namun otoritas pajak Indonesia belum bisa membeberkan secara rinci apa motif dibalik kiriman dana janggal tersebut. Namun Ditjen Pajak menegaskan, akan menindaklanjuti permasalahan tersebut.

Simbiosis Mutualisme Kredit Pintar dengan Stanchart

“Untuk saat ini, belum ada yang bisa saya sampaikan,” kata Hestu.

Sebagai informasi, mengutip Financial Times, staf Standard Chartered mengaku khawatir transfer yang dilakukan sejumlah nasabah Indonesia tersebut, karena dianggap memerlukan pemeriksaan lebih rinci karena berkaitan dana militer yang tidak sejalan dengan pendapatan tahunan yang hanya puluhan ribu dolar.

Kasus ini pun menjadi pukulan berat bagi Chief Executive Officer Bill Winters yang memimpin bank asal Inggris tersebut sejak pertengahan 2015. Dalam dua tahun terakhir, Winters menghadapi berbagai problem, dari mulai kasus pelanggaran terhadap sanksi Amerika Serikat atas Iran, hingga tuduhan suap di Indonesia. (hd)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya