Logo BBC

Sultan Hamid II dan Amir Sjarifuddin, Sosok Besar Diselubung Sejarah

BBC Indonesia
BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Setelah 22 tahun reformasi, sejarah sepertinya bukan lagi menjadi narasi milik penguasa, melainkan menjadi wacana publik yang tidak lagi berwajah tunggal.

Sebagian masyarakat tidak lagi takut atau malu-malu untuk mengungkap narasi sejarahnya sendiri, yang selama ini barangkali dibungkam atau tak pernah disebut secara adil dalam sejarah resmi.

Pengusulan sosok Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional barangkali merupakan bagian dari arus tersebut. Dia adalah perancang lambang negara Burung Garuda Pancasila, yang namanya dilupakan setelah divonis terlibat kudeta Westerling 1950.

Demikian pula keinginan sejumlah pihak supaya mantan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin yang dieksekusi mati karena dianggap terlibat peristiwa Madiun 1948 diberi tempat selayaknya dalam sejarah, sepertinya mewakili suara-suara yang selama ini ditindas.

Namun masalahnya kemudian, bagaimana menempatkan kedua sosok itu secara adil dalam ilmu dan narasi pada panggung sejarah Indonesia?

Apakah masyarakat, yang sebagian masih terbelah secara ideologis dan dihinggapi sisa-sisa residu trauma kolektif konflik di masa lalu, siap menerima perbedaan?

Lantas bagaimana sejarawan menawarkan perspektifnya di tengah kekosongan teks peristiwa sejarah tertentu, himpitan kepentingan kekuasaan, serta sikap sebagian masyarakat yang masih berpikiran sempit?

BBC News Indonesia kali ini menyoroti sosok Sultan Hamid II dan Amir Sjarifuddin, yang di satu sisi dianggap pengkhianat atau pemberontak, namun di sisi lainnya dianggap berjasa atau bahkan layak diusulkan sebagai pahlawan.

Sultan Hamid II

Di sejumlah sudut ibu kota Kalimantan Barat, Pontianak, sejak awal Agustus, beredar umbul-umbul bergambar Sultan Hamid II, yang peran dan sepak terjangnya di masa lalu, sempat melahirkan polemik tajam di masyarakat belakangan ini.

Di satu sisi, ada suara-suara agar nama baiknya dipulihkan, dan bahkan berupaya agar dia diangkat sebagai "pahlawan nasional", namun di sisi lain ada anggapan pimpinan Kesultanan Qadariyah ini adalah pengkhianat.

Divonis bersalah oleh pengadilan di awal 1950an lantaran berniat membunuh sejumlah menteri serta walau tak terbukti  dituduh bersekongkol dengan Westerling dalam peristiwa APRA 1950 di Bandung, Hamid di sisi lain terbukti berjasa dalam merancang lambang negara Burung Garuda Pancasila.

Di tengah pengkutuban seperti itulah, umbul-umbul bertuliskan namanya serta kalimat "perancang lambang negara RI Garuda Pancasila" bermunculan di sudut-sudut kota itu - lengkap dengan gambar foto dirinya berseragam militer.

Peredaran umbul-umbul bergambar eks ketua Majelis permusyawaratan negara-negara Federal (BFO) ini, rupanya, merupakan salah-satu kampanye agar dia mendapat gelar pahlawan nasional.

"Ini memang bagian sosialisasi untuk memperkenalkan beliau adalah pahlawan bangsa," kata Anshari Dimyati, ketua Yayasan Sultan Hamid II, kepada BBC News Indonesia, Minggu (09/08).

Pada waktu hampir bersamaan, Anshari dkk juga mendatangi Kantor Dinas Sosial provinsi setempat, membahas pengusulan kembali pencalonan itu pada tahun ini atau maksimal paling lambat 2021, setelah upaya pertamanya ditolak oleh Kementerian Sosial.

Anshari memang telah menempuh jalan panjang untuk `memulihkan` nama Sultan Hamid dari tuduhan terlibat peristiwa kudeta Westerling pada 1950.

Melalui penelitian tesis magisternya di Universitas Indonesia, dia menyimpulkan bahwa pria yang meninggal pada 1978 itu hanya berniat, tetapi tidak pernah melakukan penyerangan dan membunuh tiga dewan Menteri RIS pada 1950.

Hasil temuan Anshari juga menyimpulkan, bahwa perwira lulusan Akademi militer Belanda itu bukan "dalang" peristiwa APRA di Bandung awal 1950.

"Dia bukan orang yang memotori atau bukan orang di belakang penyerangan Westerling atas Divisi Siliwangi di Bandung," katanya.

Dalam berbagai kesempatan, Anshari dan rekannya sesama intelektual dari Kalimantan Barat, Turiman Fachturrahman, juga terus memunculkan peran sentral Sultan Hamid II dalam merancang lambang negara Burung Garuda Pancasila - yang selama ini seperti dihilangkan dari sejarah resmi.

Turiman, melalui tesis masternya. menemukan bukti-bukti otentik yang menguatkan peran penting Sultan Hamid II sebagai perancang lambang negara, Garuda Pancasila.

Bersama dokumen terkait, empat tahun silam, Anshari dan Turiman melampirkan temuannya itu sebagai bahan pengusulan pencalonan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional kepada Kementerian Sosial.

Dan awal Januari lalu, kata Anshari, Kemensos mengeluarkan keputusan bahwa Sultan Hamid "tidak memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai pahlawan nasional".