Robert Skidelsky

Benua yang Hilang

VIVAnews - Rumah bagi 1/6 populasi dunia, namun hanya menyumbang 1/40 dari produk domestik bruto (GDP) tingkat global. Afrika jelas merupakan korban yang paling mencolok dari resesi global.

Selama 50 tahun terakhir ekonomi di Afrika hanya tumbuh 5 persen. Namun, tingkat pertumbuhan tahun ini diperkirakan malah berkurang setengahnya. Sejumlah negara seperti Angola mengalami gejolak. Di tempat-tempat lain, krisis ini telah menggerus keuntungan yang dicapai dari reformasi ekonomi selama bertahun-tahun. Banyak orang di Afrika kini kembali kepada jurang kemiskinan.

Para ekonom pembangunan kini tampak putus asa; Afrika seakan sudah sia-sia bekerja keras untuk menciptakan keajaiban. Jelang dekolonisasi pada 1960, pertumbuhan GDP per kapita di Afrika Sub-Sahara hampir tiga kali lipat lebih besar dari Asia Tenggara. Selain itu banyak orang Afrika diperkirakan bisa hidup lebih lama dua tahun dari tingkat rata-rata. 

Namun, 50 tahun sejak dekolonisasi, tingkat GDP riil per kapita di Afrika hanya tumbuh 38 persen dan mereka hidup sembilan tahun lebih lama. Sebaliknya, di Asia Tenggara, tingkat GDP per kapita meningkat 1000 persen dan orang-orang di sana hidup 32 tahun lebih lama.

Awalnya, solusi bagi Afrika sebenarnya sangat jelas. Afrika butuh modal, namun kurang tabungan. Lalu, uang harus disediakan dari pihak luar, yaitu institusi keuangan seperti Bank Dunia. Menerapkan suku bunga komersil dari orang-orang kelaparan sama halnya dengan riba, sehingga menawarkan pinjaman sama rutinnya dengan mendatangkan hibah.
 
Melempar uang ke orang miskin seolah menjadi obat mujarab. Program itu gampang dijual dan menyentuh emosi kemanusiaan. Selain itu juga meringankan perasaan bersalah sebagai penjajah di masa lalu, sama dengan tingkah orang tua yang memberi anak-anak hadiah mahal agar penelantaran mereka bisa dimaafkan.

Namun perilaku demikian tidak berjalan baik. Sebagian besar bantuan telah dicuri atau terkucur sia-sia. Di Kongo, misalnya. Kendati mengalami peningkatan delapan kali lipat jumlah bantuan per kepala selama 1960 hingga 2007, tingkat GDP per kapita di Kongo di periode yang sama malah turun 2/3.

"Trade not Aid" (berdagang, bukan bantuan) telah menjadi dogma baru. Dipopulerkan oleh ekonom Peter Bauer pada dekade 1980-an, dogma itu menjadi resep bagi Washington Consensus.   

Afrika juga telah menjadi kata yang nge-tren diucapkan, terutama bila menyangkut deregulasi ekonomi dan ambisi pertumbuhan berbasis ekspor seperti keajaiban ekonomi di Asia Timur.

Para konsultan dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) meminta para pemerintah Afrika untuk tidak lagi mensubsidi "andalan-andalan nasional" dan meminta mereka mencabut hambatan-hambatan perdagangan. Penyediaan bantuan, yang nilainya makin berkurang, hanya dapat diberikan bila pemerintah melucuti sektor publik.   

Pada tahun 1996, hanya 1 persen dari populasi di Afrika Sub-Sahara yang berprofesi sebagai pegawai negeri, bandingkan dengan 3 persen di sesama negara-negara dari kawasan lain dan 7 persen di kelompok negara anggota industri maju. Kendati peran pemerintah berkurang, Afrika belum juga berhasil melompat ke zona kemakmuran.

Para ekonom terus berdalih bahwa masalah di Afrika adalah kurangnya pemerintahan yang efektif. Banyak negara berstatus "gagal" dimana pemerintah tidak bisa lagi menciptakan kondisi keamanan dan kesehatan yang minimum.

Kendati hanya menyumbang 15% dari jumlah populasi dunia, Afrika Sub-Sahara menjadi kuburan bagi 88 persen kematian yang terkait dengan konflik di penjuru dunia. 65 persen dari total korban AIDS berada di kawasan ini. Namun, para ekonom yang selalu mendasari pendapat mereka dengan hitungan statistik kini malah melontarkan rumus baru: kemakmuran tergantung kepada pemerintahan yang baik.

Lalu, seperti apa sih pemerintahan yang baik itu? Memulihkan atau menegakkan konsep itu tampak membicarakan kembali kolonialisme.

Kendati dilanda berbagai kegagalan dan kecaman, kolonialisme memberi prasyarat yang esensial bagi pembangunan ekonomi, yaitu perdamaian dan keamanan. Wacana pembangunan saat ini rata-rata membicarakan bagaimana prasyarat bagi pengurangan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi dapat tercipta tanpa kolonialisme.

Ekonom dari Universitas Oxford, Paul Collier, menilai bahwa banyak negara Afrika telah jatuh ke dalam suatu atau beberapa jerat pembangunan yang sangat sulit untuk keluar. Selain itu, begitu suatu negara masuk dalam suatu jerat, maka mudah sekali negara itu terjerumus ke jerat berikut.

Menjadi miskin membuat orang rentan terlibat konflik dan terlibat suatu konflik bisa menyebabkan jatuh miskin. Jadi apa harapan bagi suatu negara miskin yang hancur akibat perang saudara?
 
Mengutip seorang diplomat Inggris di Sierra Leone, Collier menyatakan bahwa intervensi militer, bila dimungkinkan, bisa menciptakan perdamaian. Dia pun mendukung keterlibatan internasional untuk menegakkan perdamaian pasca konflik. Namun bantuan internasional harus dibatasi dengan mendukung terciptanya pondasi pemerintahan yang baik secara sukarela. 

Situasi akan lebih baik bila dibentuk kerangka kerja bagaimana pemerintah harus membuat anggaran belanja publik secara transparan atau bagaimana perusahaan-perusahaan asing yang selama ini mengambil kekayaan alam harus melaporkan laba mereka. Kondisi demikian akan menjadi patokan yang lebih mudah bagi para aktivis politik lokal sekaligus memberikan sumber legitimasi bagi pemerintah.  

Konsep yang diajukan Kimberly Process bisa menjadi proyek pelopor. Perusahaan-perusahaan permata secara sukarela tidak bersedia membeli bahan baku dari wilayah-wilayah yang terlibat konflik. Sikap ini dilakukan untuk mencegah pendanaan bagi para pemimpin milisi yang berperang.

Taktik ini juga baik bagi bisnis. Para konsumen Barat pun akan terdidik untuk tidak membeli perhiasan yang berlumuran darah (berasal dari wilayah konflik).

Perlu 50 tahun bagi Eropa untuk menciptakan integrasi regional. Namun integrasi itu telah menciptakan keuntungan politik dan ekonomi bagi penduduk Eropa. Maka, integrasi regional juga bisa menguntungkan Afrika dengan mengacu pada kerangka kerja yang tepat bagi kondisi di sana.

Ini merupakan proyek yang layak didukung. Proyek-proyek lain mencakup memformalkan ekonomi informal yang besar di negara-negara seperti Ghana. Biasanya, proyek-proyek ini membutuhkan keahlian internasional dengan mandat dari otoritas lokal. 

Proposal-proposal itu bisa menjadi terobosan untuk mengatasi masalah pembangunan di Afrika. Namun, seperti halnya saat menapak jalan setiap 14 kilometer antara Lagos dan Abijan (dua kota besar di Afrika Barat), kemajuan akan berjalan lambat.

Dengan membanjirnya pengungsi, kian nekatnya aksi para perompak, dan kelihaian teroris dalam mencari tempat perlindungan, masalah Afrika adalah masalah bersama. Seluruh dunia tidak bisa terus-menerus menanggung kemiskinan Afrika. 


Robert Skidelsky adalah anggota Majelis Tinggi Parlemen Inggris (House of Lords) dan juga Profesor emeritus Universitas Warwick. Artikel ini dirangkum dari tulisan Skidelsky dengan judul "The Lost Continent" di laman Project Syndicate, www.project-syndicate.org. 

Viral Emak-emak di Taput Dituduh Curi Ketang Dihukum Telanjang, Begini Kata Polisi
Ilustrasi simbol bendera PDIP saat Peringatan puncak Bulan Bung Karno 2023 di GBK

PDIP Bisa jadi Oposisi, Bantu Pemerintah Mengkoreksi Bukan Saling Berhadapan

Sikap politik PDIP yang saat ini ditunggu-tunggu, apakah memilih menjadi oposisi dari pemerintahan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka, atau ikut masuk di dalamnya.

img_title
VIVA.co.id
25 April 2024