Melanggar Etik, Ketua MK Arief Hidayat Diminta Mundur

Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat.
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVA – Sanksi yang dijatuhkan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi (MK) kepada Ketua MK Arief Hidayat atas dua pelanggaran etik yang dilakukannya dinilai sudah cukup membuktikan bahwa Arief tak layak memimpin lembaga terhormat di Indonesia itu.

MK Tolak Eksepsi Tim Jokowi soal Berkas Gugatan Baru Prabowo

Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Prof Sigit Riyanto menyayangkan pelanggaran etik yang dilakukan Arief Hidayat. Arief dianggap telah mengkhianati amanat yang diberikan negara untuk memimpin MK dan tidak bisa dijadikan rujukan.

"Bagi saya, dia sudah tidak layak menduduki jabatan tersebut," kata Prof Sigit Riyanto di kantor PUKAT UGM Yogyakarta, Selasa 6 Januari 2018.

Tim Hukum Prabowo Singgung Biaya Fotokopi Berperkara di MK Miliaran

Senada dengan ucapan Sigit Riyanto, Pakar Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar mengatakan, sebagai Ketua MK, Arief telah melanggar asas-asas yang terkandung dalam UU MK. Persoalan ini, menurutnya, bisa merusak kepercayaan publik terhadap putusan MK.

Hal inilah yang menjadi perhatian dari para akademisi, yaitu bagaimana menyelamatkan lembaga tersebut dari hal-hal politis.

Polri Ungkap Estimasi Massa Aksi MK yang Turun ke Jalan

"Kita bukan hanya bicara soal Arief, tapi soal masa depan MK. MK adalah salah satu harapan kita di tengah kegalauan susahnya hukum memenangi kepentingan politik. Tatkala kita membiarkan politik menundukkan hukum, berarti selesai sudah," ucapnya.

Keprihatinan terhadap persoalan di dalam tubuh MK juga dilontarkan Direktur Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia (UII), Eko Riyadi. Menurutnya, pelanggaran kode etik oleh Arief telah menunjukkan mental buruk yang tidak sepatutnya dimiliki oleh seorang hakim konstitusi.

"Kalau ada hakim konstitusi yang mempunyai mental buruk melobikan putusannya, dia harus berhenti karena ini bukan hanya membahayakan MK tapi membahayakan bangsa. Ketua MK harus mundur dan atau diberhentikan," kata Eko.

Melalui gerakan ini, lanjut dia, para akademisi hukum berupaya mendorong perubahan dalam peradaban hukum di Indonesia, agar tahun-tahun mendatang gerakan serupa tidak perlu lagi diadakan karena para pemimpin negara telah memiliki kesadaran untuk langsung mundur jika terbukti melakukan pelanggaran, suatu tindakan yang tidak jarang diambil pemimpin di beberapa negara.

"Di Indonesia mungkin tidak banyak preseden pejabat yang mengundurkan diri, tapi dalam catatan sejarah ada hakim konstitusi yang mengundurkan diri yaitu Arsad Sanusi, atau beberapa pejabat lain yang mengundurkan diri karena tidak mampu memenuhi target. Memang tidak banyak preseden, tapi itu cukup untuk menjadi contoh bagi yang bersangkutan," ujar Direktur Advokasi PUKAT UGM, Oce Madril.

Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Trisno Raharjo berharap, agar Arief berlaku sebagai seorang negarawan yang sejati dengan memilih untuk mengundurkan diri. "Mungkin ia membutuhkan dukungan. Kami memberikan dukungan penuh jika Arief memilih menjadi negarawan sejati dan mengundurkan diri," ujarnya.

Selain membahas polemik yang bersangkutan dengan pribadi ketua MK, dalam diskusi ini para akademisi juga mengulas beberapa isu lain seputar masa depan MK dan peran dunia akademik untuk mendukung peran-peran yang dijalankan MK.

Sebagaimana diketahui, pada 16 Januari 2018, Dewan Etik MK menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan kepada Arief setelah terbukti menemui politikus dan anggota DPR RI pada November 2017, yang diduga berkaitan dengan pemilihan hakim konstitusi perwakilan DPR RI dan pemilihan Ketua MK.

Sebelum itu, Dewan Etik MK juga telah menjatuhkan sanksi kepada Arief atas dugaan pelanggaran etik berupa mengirimkan katebelece kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung untuk membina salah seorang kerabatnya yang menjadi jaksa. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya