Bibit Intoleransi Bersemi di Era SBY, Sayangnya Tak Diperbaiki Jokowi

Korban Intoleransi Beragama Gelar Demo
Sumber :
  • VIVAnews/Fernando Randy

VIVA – Pengadilan yang didasarkan penistaan agama disebut Setara Institute kerap terjadi sebagai peradilan sesat. Hal itu baru-baru ini kembali terjadi lagi setelah Meiliana, wanita di Tanjung Balai, divonis PN Medan dengan hukuman penjara 1 tahun 6 bulan dengan tuduhan penistaan agama.

Viral Muazin di Dubai Ubah Lafal Azan saat Badai, Apa Hukumnya?

Meiliana diseret ke ranah hukum lantaran meminta volume suara azan di masjid dekat rumahnya dikecilkan. Suaminya sebetulnya sudah minta maaf untuk hal itu namun dia tetap dipidanakan dengan pasal penistaan agama.

Setara Institute melalui rilis pers, Kamis 23 Agustus 2018 menyoroti gagalnya pemerintah menjaga kondisi toleransi di Indonesia.

Hujan Badai di Dubai: Muazin Ubah Lafadz Azan, Netizen: Merinding!

"Intoleransi bukan hanya tumbuh di tengah masyarakat tetapi juga merasuk ke banyak kepala aparat penegak hukum dan para penyelenggara negara," kata Ketua Setara Institute, Hendardi.

Menurut Hendardi, intoleransi berkembang biak di Tanah Air terjadi sejak 2004, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memimpin dan membiarkan aspirasi intoleransi itu hingga 10 tahun masa kepemimpinannya.

Pesan Idul Fitri Kapolri: Dalam Perbedaan Tercipta Indahnya Toleransi

Sementara selama hampir empat tahun masa kerjanya, Presiden Jokowi juga menurut Setara, nyaris tidak mengambil tindakan nyata mengatasi intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Terbukti kata dia, sidang penistaan agama selalu terjadi di bawah tekanan massa. 

"Pascaperusakan vihara dan klenteng oleh kerumunan massa (mob) dengan desakan ormas dan kelompok-kelompok intoleran, MUI Sumatera Utara mengeluarkan fatwa bahwa Meiliana melakukan penistaan agama," kata dia.

"Selama proses peradilan, persidangan selalu diwarnai tekanan psikologis terhadap hakim, jaksa, terdakwa serta penasihat hukumnya dengan kehadiran anggota ormas seperti FUI dan kelompok-kelompok intoleran," lanjut Hendardi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya