Komnas Perempuan Tegur Polisi dan Pers soal Ekspos Prostitusi Online

Polda Jatim membongkar kasus prostitusi online yang melibatkan artis.
Sumber :
  • VIVA / Nur Faishal

VIVA – Komisi Nasional Perempuan menegur Polisi yang mengekspos penyelidikan prostitusi online dan lembaga pers atau media massa cenderung tampak mengeksplotasi perempuan yang dilacurkan.

Mahasiswi dan IRT Jual Diri di Michat Demi Kebutuhan Hidup, Sekali Kencan Rp 200 Ribu

Dalam pandangan Komnas, perempuan-perempuan yang disangka terlibat dalam prostitusi itu, sesungguhnya adalah korban perdagangan orang, korban eksploitasi orang-orang dekat, serta perempuan dalam jeratan muncikari, bahkan bagian dari gratifikasi seksual.

“Sekalipun dalam level artis, kerentanan itu kerap terjadi,” tulis Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan, dalam siaran pers yang diterima VIVA pada Senin malam, 7 Januari 2019.

Jual Jasa PSK Tarif Rp2,5 Juta, Mucikari Cantik Pangkal Pinang Ini Ditangkap dengan Barbuk

Komnas mengkhawatirkan, prostitusi online sebagai bentuk perpindahan dan perluasan dari prostitusi offline. Prostitusi online menyangkut soal cyber crime atau kejahatan dunia maya yang berbasis kekerasan terhadap perempuan, terutama kasus revenge porn (balas dendam bernuansa pornografi) yang dapat berupa distribusi image atau percakapan tanpa seizin yang bersangkutan.

Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2018, pengaduan langsung menyangkut balas dendam bernuansa pornografi makin kompleks.

Modus Kontes Model, 2 ABG Belia Nyaris Berangkat Dijual jadi PSK di Balikpapan

Berdasarkan analisis Komnas, ada sejumlah media massa yang melanggar kode etik jurnalistik dalam pemberitaan tentang prostitusi online. Sebab, mereka memuat berita yang sengaja mengeksploitasi seseorang secara seksual, terutama korban.

“Dalam analisa media tersebut, masih banyak media yang saat memberitakan kasus kekerasan terhadap perempuan, utamanya kasus kekerasan seksual, tidak berpihak pada korban,” kata Mariana.

Komnas Perempuan menyayangkan ekspos yang berlebihan pada perempuan (korban) prostitusi online, sehingga besarnya pemberitaan melebihi proses pengungkapan kasus yang baru berjalan.

“Pemberitaan seringkali mengeksploitasi korban, membuka akses informasi korban kepada publik, sampai pemilihan judul yang pada akhirnya membuat masyarakat berpikir bahwa korban ‘pantas’ menjadi korban kekerasan dan pantas untuk dihakimi,” katanya.

Atas dasar itu, Mariana meminta aparat penegak hukum berhenti mengekspos secara publik penyelidikan prostitusi online. Begitu pula, kepada media massa agar “…tidak mengeksploitasi perempuan yang dilacurkan, termasuk dalam hal ini artis yang diduga terlibat dalam prostitusi online.”

Dia mengkritik juga perilaku media massa yang menyampaikan informasi yang bernuansa misoginis dan cenderung menyalahkan perempuan. Masyarakat pun diminta tidak menghakimi secara membabi buta kepada perempuan korban ekspoitasi industri hiburan. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya