Mahfud Kritik Penegak Hukum yang Berlebihan

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD di kediamannya.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Cahyo Edi

VIVA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD menilai bahwa hal paling penting dalam merajut masa depan Indonesia dan menguatkan nasionalisme adalah bagaimana menegakkan hukum dan keadilan. Menurutnya, jika hukum dan keadilan bisa ditegakkan dengan baik, lebih dari 50 persen persoalan bangsa ini selesai.

Pemberlakuan Tax Holiday saat Pajak Minimum: Untung atau Buntung?

"Sisanya itu ad-hoc," kata Mahfud dalam sebuah diskusi "Merajut Masa Depan Indonesia" yang diselenggarakan oleh organisasi nirlaba United in Diversity (UID), di Hotel Raffles, Jakarta, Kamis, 4 Juli 2019, kemarin.

Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila itu menuturkan, berbagai sektor rusak karena ada pelanggaran hukum dan terjadi korupsi. Sedangkan, yang memberantasnya tidak sungguh-sungguh, malah ikut korupsi.

Fungsi Sosial yang Melekat pada Hak Atas Tanah

Guru Besar Hukum Tata Negara itu mengingatkan, bahwa hukum itu harus punya tiga fungsi dan tujuan yakni memberi kepastian, berkeadilan dan memberi kemanfaatan. Kepastian hukum adalah tuntunan bagi masyarakat agar mengetahui dan bisa memprediksi apa yang dia lakukan dan apa akibatnya kalau dia melakukan sesuatu atau mendapatkan sesuatu.

Namun, ada kepastian hukum tapi kalau tidak adil bisa menimbulkan masalah. Kalau ada kepastian hukum dan ada keadilan, tapi tidak memberi manfaat juga bisa merusak.

Bicara Tentang Efektivitas Hukum

"Kalau hanya grusa-grusu dengan penuh emosi mau menegakkan hukum tapi tidak memberi kemanfaatan bagi kelangsungan bangsa dan negara harus dihindari," katanya.

Ia melihat bahwa sekarang ini ada gejala kepastian hukum mulai dilanggar. Karena penegak hukum terlalu berlebihan.

Mahfud memberikan contoh tentang orang yang sudah menyelesaikan urusannya tapi kini diungkit-ungkit lagi. Dia menegaskan itu sebenarnya tidak boleh menurut dunia hukum, karena tidak memberi kepastian.

"Orang sudah menyelesaikan urusan hukum, kok tiba-tiba dianggap belum selesai. Kasus seperti itu sekarang sudah mulai banyak terjadi. Sudah mulai menggejala," tuturnya.

Mahfud menambahkan, merajut masa depan Indonesia menjadi hal yang relevan saat ini di tengah suasana usai pemilu yang dilukiskannya sebagai pemilu yang paling panas karena memunculkan isu ras dan agama yang sudah mulai membelah masyarakat Indonesia.

Sementara itu, pendiri Maarif Institute, Ahmad Syafii Maarif, meminta agar masyarakat mulai berani dan tidak perlu merasa ketakutan menyuarakan kebenaran apapun latar belakang sosial budayanya.

"Mayoritas kita masih waras, tapi masih diam karena pertimbangan agama, ras, dan lain-lainnya," kata dia.

Syafii juga mengatakan kepada para politisi maupun tokoh-tokoh partai politik untuk naik kelas.

“Kita harapkan kepada para politisi mau naik kelas, belajar menjadi negarawan,” kata Syafii.

Apabila politisi maupun tokoh partai mau melakukan ini, lanjut dia, akan membuat kondisi lebih baik. Jangan sampai politisi itu bak mahluk bertopeng, kelihatannya baik tapi kelakuannya tidak seperti kelihatannya.

Sekedar diketahui, acara diskusi itu dihadiri ratusan peserta terdiri dari kalangan masyarakat madani, pejabat negara, tokoh masyarakat, akademisi, pengusaha serta praktisi hukum dan peserta dari daerah. Di antaranya Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko Putro Sandojo, Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) dan Pendiri Maarif Insitute Ahmad Syafii Maarif, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani, Pendiri UID Cherie Nursalim, Presiden UID Mari Elka Pangestu. [mus]

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya