Legislator PDIP: Pasal 27 UU ITE Tidak Mungkin Dihapus

Anggota Komisi I DPR RI Evita Nursanty
Sumber :

VIVA – Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, Evita Nursanty, berpendapat bahwa pasal 27 Undang Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak mungkin dihapuskan. Sebab, Indonesia membutuhkan pasal itu untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik.

Revisi UU ITE Disahkan, Privy Siap Amankan Transaksi Keuangan Digital

“Saya sepakat dan mendukung apa yang pernah disampaikan Menkominfo Rudiantara bahwa pasal itu, seperti pasal 27 ayat 3 soal penghinaan dan atau pencemaran nama baik, tidak mungkin dihilangkan,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima VIVAnews, Sabtu, 13 Juli 2019.

Demikian juga dengan klausul-klausul lain yang mengatur kesusilaan di ayat 1, perjudian di ayat 2, pemerasan dan/atau pengancaman di ayat 4, dan pasal 28, pasal 29. “Itu tidak mungkin dihilangkan,” tulisnya.

Soal Kasus Pencemaran Nama Baik yang Dilaporkan Pengelola ABC Ancol, Ini Kata Polisi

Menurutnya, tidak ada kesalahan pada ketentuan pasal 27, pasal 28 dan pasal 29 UU ITE, dan bahkan pasal-pasal itu sudah dibahas berulang-ulang, termasuk saat revisi tahun 2016. Artinya, yang paling mungkin terjadi adalah kekeliruan dalam penerapannya.

Politikus PDIP itu mengingatkan, sedikitnya ada tiga hal yang mesti diperhatikan dalam penerapan undang-undang itu. Pertama, agar aparat penegak hukum berhati-hati dalam penerapannya. Artinya, sesuaikan dengan konteks peristiwa/kasus, terkategori pencemaran nama baik atau kesusilaan.

Prabowo: Saya Atas Nama Prabowo-Gibran Minta Maaf kepada Pak Anies dan Pak Ganjar

Kedua, publik pun wajib berhati-hati dan cerdas dalam memanfaatkan teknologi informasi dan traksaksi elektronik. Ketiga, sosialisasikan pasal-pasal itu lebih luas kepada publik maupun kepada penegak hukum. Keempat, pengkajian komprehensif atas solusi perlindungan publik, melalui UU ITE atau di luar UU ITE.

Jangan Jadi Alat Represi

Kebebasan penggunaan dan pemanfaatan ITE, katanya, dengan mempertimbangkan pembatasan yang ditetapkan UU dengan maksud mulia, yakni menghormati hak orang lain juga. Apalagi UU ITE merupakan produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang meletakkan dasar pengaturan di bidang pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik.

Meski begitu, Evita setuju jika para pihak yang menaruh perhatian pada kasus-kasus UU ITE untuk tetap memberikan masukan. Tujuannya, agar publik yang kemungkinan rentan, dapat terlindungi dari tindakan semena-mena.

Evita menceritakan saat DPR merevisi UU ITE pada 2016 demi menampung aspirasi publik agar pasal itu jangan jadi alat represi oleh pemerintah atau penegak hukum hingga dengan mudah menahan seseorang.

“Jadi, kita mendengar aspirasi publik dan memang ada celah yang memungkinkan untuk ditempuh, yaitu dengan menjadikannya delik aduan serta pidana dikurangi. Penegasan ini dimaksudkan agar selaras dengan asas kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Tapi, sekali lagi, tidak ada opsi untuk menghilangkan,” katanya.

Mengenai ketentuan pasal intersepsi yang ramai diperbincangkan kini, Evita berpendapat, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, untuk mencegah perbedaan penafsiran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, Mahkamah menegaskan bahwa setiap intersepsi harus dilakukan secara sah, terlebih lagi dalam rangka penegakan hukum.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya