Ironi Desa Gobang, Potret Buruk Pendidikan Tak Jauh dari Ibu Kota

Para murid di Desa Gobang, Jabar
Sumber :
  • VIVA/Zahrul Darmawan

VIVA – Pendidikan kurang layak nyatanya masih menjadi potret memprihatinkan di sebagian wilayah di Indonesia. Ironisnya lagi kasus semacam itu tak jarang ditemukan di wilayah satelit yang tak jauh dari Ibu Kota Jakarta. Salah satunya di Kampung Kukuk Sumpung, Desa Gobang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Merdeka Belajar dan Keterbaikan Masa Depan Bangsa

Penelusuran VIVA, waktu perjalanan untuk mencapai wilayah tersebut memakan waktu kira-kira dua jam dari perbatasan Kota Depok, Jawa Barat. Di tempat ini, mayoritas penduduknya adalah bertani, kuli serabutan dan penambang pasir dengan upah kisaran Rp30 ribu hingga Rp40 ribu/hari.

Kampung Kukuk Sumpung hanya bisa diakses dengan cara berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor dengan rute yang cukup terjal. Lokasinya yang berada di puncak gunung Eusing kira-kira akan memakan waktu 30 menit dari balai desa. Di sana, hanya ada satu Sekolah Dasar (SD) dengan dua orang tenaga pendidik atau guru. Tadinya, bangunan sekolah tersebut nyaris runtuh dan jumlah muridnya pun sangat minim.

Pentingnya Memberikan Pendidikan Moral dan Karakter Anak Sejak Dini

Salah satu faktor utamanya adalah masyarakat sekitar masih beranggapan, meski gratis, pendidikan tidaklah penting, terlebih bagi anak perempuan. Hal itulah yang dirasakan Jentri Hartanti, salah satu guru honorer di sekolah tersebut.

“Di sini tuh orangtuanya yang harus benar-benar didekatin. Orang sini kurang peduli, mereka beranggapan sekolah itu buat apa, apalagi perempuan toh balik lagi ke dapur,” kata Jentri saat ditemui VIVA di kampung tersebut, pada Sabtu 13 Juli 2019.

Alternatif Menanggulangi Kekerasan di Dunia Pendidikan

Meski demikian, pemahaman seperti itu justru menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi wanita 23 tahun tersebut. 

Di sekolah itu, hanya terdapat dua tenaga pendidik yakni Jentri dan Unep Sunarni, pemuda 23 tahun. Keduanya membagi tugas untuk mengajar dari kelas satu sampai dengan kelas enam.

Kedua pahlawan tanpa tanda jasa ini hanya mendapat honor Rp300 ribu per bulan dari pemerintah
daerah. Di tempat ini, jangankan mengenakan seragam sekolah, bukunya pun hanya bisa dipinjam dan dipakai seadanya secara turun temurun. Namun menurut Jentri, yang terpenting adalah anak-anak mau bersekolah, baginya sudah cukup.

“Awal mulanya di sini kurang respons pendidikan seperti yang saya sampaikan tadi. Makanya di sini tuh orangtuanya yang harus didekatin. Saya selalu berusaha mengubah pola pikir mereka agar tidak kembali ke jalan dulu, biar ada perubahan,” katanya.

Setelah lebih dari tiga tahun berlalu, perjuangan Jentri dan Unep pun akhirnya berbuah manis. Yang tadinya hanya sekira 10 sampai 15 orang murid per kelas kini jumlahnya telah melonjak menjadi 25 hingga 30 murid per kelas. Antuasiasme masyarakat untuk menyekolahkan buah hatinya itu semakin menjadi lantaran gedung sekolah telah rampung diperbaiki berkat dukungan Universitas Pancasila (UP).

“Alhamdulillah, setelah ada perhatian dari kakak mahasiswa UP warga sini jadi antusias apalagi sekarang bangunan sekolah sudah layak enggak kayak dahulu kita selalu khawatir kalau lagi hujan. Mudah-mudahan UP semakin maju lagi, makin berkembang dan bermanfaat untuk seluruh rakyat Indonesia dan dunia,” katanya.

Lebih lanjut Jentri mengaku, dirinya tidak pernah mempersoalkan honor yang ia terima selama ini. Meski jumlahnya masih jauh dari kata cukup, namun baginya memberikan perubahan bagi desa tempatnya tinggal adalah hal yang jauh lebih penting. Padahal, Jentri sendiri mengaku kerap menunggak iuran kuliah. Dia saat ini sedang menempuh pendidikan guru di salah satu universitas.

“Kalau rezeki alhamdulillah ada aja. Saya seperti ini ikhlas karena memang kemauan saya. Saya suka dengan anak-anak dan saya ingin melihat masa depan mereka cerah,” tuturnya.

Jentri pun hanya bisa berharap, pemerintah dapat memperhatikan dunia pendidikan di Indonesia agar lebih baik lagi khususnya untuk daerah-daerah terisolir seperti di kampung tersebut.

UP Mengabdi

Sementara itu, Rektor Universitas Pancasila, Prof Wahono Sumaryono, mengungkapkan pihaknya sengaja membangun sarana dan prasarana guna pengembangan pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di tempat tersebut karena ingin mendorong perkembangan pendidikan warga sekitar baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini kata dia sesuai dengan program pengabdian Universitas Pancasila yang bertajuk "Mengabdi dengan Hati untuk Membangun Negeri".

“Dengan dana dari Universitas Pancasila dan sponsor mitra kerja, kami juga berhasil memperbaiki jalan setapak, MCK dan sarana prasarana lainnya. Kemudian nanti ada pembangunan serbaguna yang dibangun secara bertahap untuk sarana pertemuan warga dan pembejalaran maupun mengolah produk kerajinan,” katanya saat meninjau langsung lokasi tersebut.

Selain Desa Gobang, pihaknya juga memperhatikan pembangunan pendidikan di Desa Leuwisadeng yang jug amasih di kawasan Kabupaten Bogor dan selanjutnya di wilayah Kepulauan Seribu.

“Alasan kita pilih Desa Gobang karena wilayah ini tidak jauh dari Jakarta tapi karena terisolasi maka masalah pendidikan masih belum maju. Jadi kami melihat pendidikan bagi generasi muda terutama anak SD dan SMP sangat penting. Kita ajak untuk sadar pendidikan dan kita berharap bisa lebih maju. Desa ini dipilih dari beberapa mahasiswa yang sudah melakukan kajian,” katanya.

Wahono mengakui, membangun infrastruktur pendidikan layak bukanlah perkara mudah di desa tersebut. Sebab lokasi untuk menuju ke puncak hanya bisa diakses menggunakan kendaraan roda dua dan rute yang dilalui pun cukup terjal.

“Tantangan relatif berat karena berada di wilayah perbukitan. Menuju ke sini hanya bisa menggunakan motor. Tantangannya yang ada bisa dari segi infrastruktur dan mengajak masyarakat atau memberi motivasi agar mau sekolah,” ucapnya.

“Bukan itu saja, gurunya pun sangat terbatas hanya dua di SD dan satu guru SMP. Jadi itu tantangannya. Namun bagi kami unsur pendidikan sangat penting jadi kita akan terus berusaha memajukan desa ini,” kata dia.

Selain fokus pada masalah pendidikan, UP juga mengajak warga sekitar untuk mengembangkan potensi usaha yang dimiliki, seperti pengolahan gula aren menjadi gula semut, biji kopi Gobang yang biasa dijual berupa biji kopi diolah menjadi produk siap konsumsi serta serat pohon aren akan dikembangkan menjadi kerajinan tangan olahan lidi.

Pembinaan dilakukan dengan harapan agar dapat mengembangkan dan mengelola lebih lanjut produk unggulan kawasan desa yang berpotensi memiliki nilai jual yang tinggi. Pembinaan masyarakat dilakukan oleh para ahli yang bergerak di bidangnya.

“Ini diharapkan dapat meningkatkan perekonomian, pengetahuan serta kesadaran warga desa akan lingkungan, kehidupan dan pendidikan sehingga dapat meningkatkan taraf kesejahteraan hidup warga desa," katanya. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya