Kutip Guyonan Gus Dur Dipanggil Polisi, Contoh Demokrasi Makin Jauh

Anggota DPR, Fadli Zon
Sumber :
  • Twitter @fadlizon

VIVA – Unggahan seorang warga Kepulauan Sula, Maluku Utara, Ismail Ahmad, yang mengutip guyonan Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur berujung masalah. Ismail harus menjalani pemeriksaan di Polres Sula karena unggahannya yang dianggap telah melanggar UU ITE.

Pelihara Jenggot, Anggota Polres Lombok Tengah Kena Sanksi

Menanggapi kabar tersebut, anggota DPR, Fadli Zon, mengkritisi langkah polisi memanggil seorang netizen tersebut. Menurut Fadli, tindakan polisi tersebut merupakan salah satu contoh indikasi tentang Indonesia makin jauh dari demokrasi.

Baca Juga: #RezimTipuManipulasi Trending di Twitter, Sindir RUU HIP

9 Omongan Nyeleneh Mantan Presiden Gus Dur yang Jadi Kenyataan

"Mengutip Gus Dur saja bisa urusan dg polisi. Kok masih berani bilang negara demokrasi," tulis Fadli Zon di akun Twitter pribadinya, Kamis 18 Juni 2020.

Bagaimana Orang Rusia Menggunakan Kode untuk Hindari Sensor dan Polisi

"Inilah salah satu contoh  menunjukkan kita makin jauh dr demokrasi n mendekati otoritarianisme,"

Ismail sendiri dipanggil pihak Polres Sula pada Rabu 17 Juni 2020 untuk memberikan keterangan atas unggahannya di akun media sosial miliknya. Ismail pun harus meminta maaf setelah sadar unggahannya dianggap menimbulkan masalah.

Diketahui, Ismail mengunggah guyonan yang sempat dipopulerkan Gus Dur di akun Facebook pribadinya. Guyonan itu pun sudah sangat kondang, yakni hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia; patung polisi, polisi tidur dan Kapolri 1968-1971 Jenderal Hoegeng.

Selama ini Gus Dur memang dikenal menggunakan guyonan untuk menyindir. Dan tulisan Ismail tersebut memang dulu dilontarkan almarhum Gus Dur untuk menyindir oknum kepolisian yang dianggapnya korup dan tak pro rakyat.

Akibat unggahan tersebut, Ismail tampaknya akan dijerat dengan pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman hukuman penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp 750 juta.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya