Logo DW

Rezim yang Terlalu Ramah pada Militer

Rusman/Biro Pers Sekretariat Presiden
Rusman/Biro Pers Sekretariat Presiden
Sumber :
  • dw

Pada pertengahan April lalu, telah terbit Skep (surat keputusan) Panglima TNI tentang mutasi sekitar 400 perwira. Mungkin ini adalah gelombang mutasi terbesar, sebelum-sebelumnya maksimal 150 perwira, belum pernah ada mutasi perwira sampai sebanyak itu. Saya pribadi sedikit terkejut saat membaca Skep tersebut, mengingat begitu banyaknya pos (jabatan) yang secara tradisional merupakan jabatan kolonel, kini menjadi pos jenderal bintang satu (brigjen).

Sungguh di luar imajinasi kita, bila beberapa posisi kolonel itu ditingkatkan menjadi pos brigjen. Dalam jangka pendek, kebijakan ini memang memberi solusi bagi dua problem laten TNI selama ini, yakni terkait surplus kolonel dan sebagai upaya memenuhi tingginya hasrat setiap perwira untuk menjadi pati (perwira tinggi).

Kemudahan menjadi jenderal
Sekitar setahun lalu memang telah terbit regulasi (peraturan presiden) yang mengatur soal validasi lembaga dan penyesuian pangkat bagi sejumlah satuan. Kemudian dalam beberapa kesempatan, Presiden Jokowi pernah menjanjikan penambahan 60 jabatan pati, untuk mengatasi surplus kolonel. Saya khawatir yang bakal terjadi adalah sebuah fenomena “inflasi” jenderal. Mengingat penambahan pos pati dimaksud tidak menggunakan parameter dan argumentasi yang bisa dipahami publik.

Salah satu yang diatur dalam skep tersebut adalah soal jabatan danrem, bahwa semua danrem (komandan korem) di luar Jawa, kini menjadi pos brigjen (kecuali Aceh). Bagi danrem di Jawa, sebagian memang masih menjadi pos kolonel, kecuali Danrem Yogyakarta yang sejak lima tahun lalu sudah dijabat brigjen. Sejumlah danrem di Jawa kini telah resmi ditetapkan sebagai jabatan untuk brigjen, seperti Bogor, Surabaya, dan dua danrem di bawah Kodam Jaya. Dengan demikian ada dua tipe Korem, yakni Korem tipe A (danrem pangkat brigjen) dan Korem tipe B (danrem pangkat kolonel).

Posisi danrem hanyalah contoh kasus, tentu masih ada sejumlah jabatan lainnya, yang memperoleh validasi, yakni menjadikan pangkat pimpinannya setingkat lebih tinggi. Secara singkat bisa dikatakan, pos brigjen hari ini kira-kira setara dengan kolonel di masa Orde Baru.

Dua bulan pasca-Skep, beberapa titik “bocor halus” mulai terlihat, salah satunya tidak berjalannya proses alih generasi. Penambahan pos jenderal, ternyata lebih memprioritaskan promosi pada generasi senior. Kalau parameternya adalah KSAD Jenderal Andika(Akmil 1987), mutasi kali ini lebih memberi ruang pada senior Andika, khususnya dari Akmil 1985 dan Akmil 1986. Dalam bahasa sehari-hari (slank) fenomena ini biasa disebut sebagai “cuci gudang”. Maksudnya, perwira Akmil 1985 dan Akmil 1986, secara masif ditempatkan pada posisi pati, sebelum pensiun sebentar lagi.

Publik yang permisif
Hampir bersamaan dengan terbitnya Skep dimaksud, tepatnya 27 April lalu, ada kejadian yang mungkin luput dari perhatian publik, ketika Letjen Doni Monardo (Akmil 1985) tiba-tiba mengenakan kembali seragam militernya, saat rapat koordinasi penanggulangan Covid-19. Saya kira itu semacam sinyal, bahwa citra figur militer mulai menguat kembali, dan tampaknya publik tidak keberatan atas kemunculan kembali simbol-simbol militer seperti itu.