ICW Catat Lima Dampak Revisi UU KPK

Petugas membersihkan logo Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan, sedikitnya terdapat lima dampak langsung akibat revisi Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Yang jelas, semakin memperburuk lembaga antirasuah tersebut.

KPK Ungkap Masih Ada 6 Menteri dan 3 Wakil Menteri Jokowi Belum Lapor LHKPN

Dampak pertama, menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dengan diberlakukannya UU KPK yang baru, KPK jadi tunduk sepenuhnya kepada Presiden.

Hal tersebut dapat dilihat dalam draf Peraturan Presiden yang mengatur tentang Organisasi dan Tata Kerja (OTK) Pimpinan dan Organ Pelaksana KPK yang sempat beredar beberapa waktu lalu.

Ada Kabar Jaksa Peras Saksi hingga Rp3 Miliar, KPK Bilang Begini

Hal krusial dalam draf perpres itu terdapat pada Pasal 1 yang menuliskan bahwa pimpinan KPK merupakan pejabat negara setingkat menteri yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden sebagai Kepala Negara.

“Kesesatan berpikir ini merupakan dampak dari pengesahan revisi UU KPK yang menempatkan lembaga antirasuah itu menjadi bagian dari pemerintah dan tidak lagi independen," kata Kurnia dalam pesan singkatnya, Jumat, 13 Maret 2020.

Hasbi Hasan Dituntut 13 Tahun Bui, Pengacara: Tak Rasional, Seperti Balas Dendam

Kedua, sambung Kurnia, KPK menjadi lambat membongkar skandal korupsi-korupsi skala besar. Padahal, pada  awal Januari lalu, KPK melakukan tangkap tangan yang melibatkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan dan calon anggota legislatif PDIP Harun Masiku.

Efek UU KPK baru yang mengharuskan lembaga antirasuah itu minta izin Dewan Pengawas agar bisa melakukan penggeledahan adalah hambatan utama. Buktinya, hingga kini kantor DPP PDIP tak kunjung digeledah oleh KPK, padahal pada tingkat penyelidikan, upaya untuk menyegel kantor PDIP telah dilakukan KPK.

Dampak ketiga terkait pelantikan Nurul Ghufron sebagai pimpinan KPK yang tidak sah. Sebab, UU KPK baru mengatur bahwa setiap orang yang akan dilantik menjadi pimpinan KPK harus berusia minimal 50 tahun.

"Sedangkan calon pimpinan KPK terpilih saat itu, Nurul Ghufron, masih berusia 45 tahun. Tentunya tindakan Presiden Jokowi yang tetap paksakan pelantikan tersebut berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan," ujar Kurnia.

Kurnia menambahkan, keempat, hasil sadapan KPK dimusnahkan dalam 36 perkara yang dihentikan. Diketahui, pada akhir Februari lalu KPK resmi menghentikan 36 perkara di tingkat penyelidikan.

Dengan berlakunya UU KPK baru maka jika di antara perkara-perkara tersebut dilakukan proses penyadapan, hasil sadapan itu harus dimusnahkan seketika. Padahal, tidak menutup kemungkinan jika di kemudian hari ditemukan bukti baru kasus-kasus tersebut dapat dibuka kembali.

Hal terakhir yang paling krusial adalah tingkat kepercayaan publik kepada KPK yang menurun drastis.

Beberapa waktu lalu, singgung Kurnia, Indo Barometer baru saja merilis survei tingkat kepercayaan publik kepada lembaga negara. KPK yang sebelumnya selalu menempati peringkat tiga besar, kali ini turun menjadi peringkat empat.

"Tentu hasil ini tidak bisa dilepaskan dari potret buruk legislasi DPR dan Presiden yang memaksakan pengesahan revisi UU KPK. Problematika penindakan KPK berimbas pada kepercayaan publik yang kian menurun pada lembaga antirasuah ini," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya