Dampak Covid-19, Pekerja Industri Kreatif Kehilangan Pendapatan

Industri kreatif
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Krisis akibat Covid-19 semakin mengancam kelas pekerja Indonesia termasuk pekerja lepas (freelancer) di sektor media dan industri kreatif yang semakin terjepit dalam bertahan hidup. Dalam waktu singkat, para freelancer telah kehilangan pendapatan akibat pembatalan pekerjaan. Kondisi diperparah dengan ketiadaan jaring perlindungan terhadap mereka.

KPK Periksa Anggota DPR Fraksi PDIP Ihsan Yunus soal Dugaan Korupsi APD di Kemenkes

Kondisi tersebut tergambar dari hasil survei daring yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) sejak 20 Maret-4 April, terhadap freelancer dari berbagai subsektor industri media dan kreatif yang kehilangan pekerjaan atau pembatalan proyek akibat pandemi. Dalam kurun waktu survei tersebut, terjaring 139 pekerja lepas di berbagai kota besar yang mengaku tidak memiliki pendapatan untuk bertahan hidup.

Perkiraan pendapatan yang hilang akibat pembatalan pekerjaan pada krisis Covid-19 terbesar di kisaran Rp5-15 juta (32,8 persen) dan > Rp1-5 juta (32,8 persen). Selain itu, ada yang harus kehilangan pendapatan > Rp15-30 juta sebanyak 16,8 persen hingga di atas Rp60 juta (3,6 persen).

Singapore PM Lee Hsien Loong to Resign After Two Decades on Duty

Sebagian besar dari mereka juga harus menghadapi pembatalan lebih dari satu pekerjaan sehingga otomatis menghilangkan potensi pendapatan yang bisa mereka terima hingga pertengahan tahun (Maret-Juli 2020). Mayoritas dari pekerja lepas ini tidak mendapatkan kompensasi atas pembatalan tersebut (87,8 persen).

Subsektor yang paling banyak mengalami pembatalan pekerjaan akibat krisis Covid-19 berturut-turut yaitu film, video, audio (17,35 persen); seni pertunjukan (10,8 persen); seni vokal dan musik (9,4 persen); fotografi (9,4 persen), penelitian (7,2 persen), dan desain komunikasi visual (7,2 persen).

PM Singapura Lee Hsien Loong Mundur dari Jabatan, Ini Sosok Penggantinya

"Pembatalan pekerjaan atau project di subsektor industri ini terjadi karena pekerjaan tersebut sulit dikerjakan dari rumah," ujar Kepala Riset Sindikasi, Fathimah Fildzah Izzati dalam peluncuran kertas posisi "Mengubur Pundi di Tengah Pandemi" di Jakarta, Rabu, 15 April 2020.

Imbauan "bekerja dari rumah" juga tidak sepenuhnya dapat menggantikan pendapatan yang hilang meski selama ini mereka diasumsikan dekat dengan pemanfaatan teknologi. Menurut Fildzah, tidak semua rantai produksi industri media dan kreatif dapat dilakukan secara virtual atau bisa dikerjakan dari rumah.

Para pekerja di industri media dan kreatif juga banyak yang harus menghadapi penundaan dan pembatalan pekerjaan, terutama pada kerja yang mensyaratkan kehadiran fisik.

Dalam kondisi kehilangan pekerjaan tersebut, para freelancer harus menanggung beban sendiri terlebih bagi mereka yang memiliki tanggungan orangtua, istri/suami, atau anak. Mereka pun harus bersiasat untuk bertahan hidup dengan menggunakan tabungan pribadi (41,6 persen), berutang (20,6 persen), dibantu orangtua (10,7 persen), dan mencari pekerjaan lain (4,3 persen).

"Ketidakpastian kerja menjadi sumber kekhawatiran terbesar bagi pekerja selain takut tertular atau menularkan Covid-19," ujar Ketua Pengurus Harian Sindikasi Ellena Ekarahendy.

Atas berbagai temuan tersebut, Sindikasi menyusun rekomendasi untuk pemerintah, perusahaan, pengusaha kecil/menengah, pemberi kerja individual, serta pekerja lepas pada industri media dan kreatif.

"Dalam hal kebijakan keuangan negara, pemerintah harus menyubsidi rakyat terdampak bukan konglomerat dan korporasi besar. Pemerintah harus bisa berpikir maju dengan tidak terjebak dalam kerangka berpikir trickle down economy bahwa jika korporasi disubsidi maka otomatis akan menyelamatkan pekerja,” ujar dia. 

“Dengan lemahnya pengawas dan sanksi terhadap perusahaan, terutama di saat krisis ini, yang ada justru malah potensi pencurian subsidi dari perusahaan sementara pekerja yang posisinya lebih rentan tidak mendapat bantuan apa-apa,” katanya.

Sindikasi juga merekomendasikan perubahan sebagian skema program bantuan yang ada agar lebih tepat sasaran dan tepat guna. "Alih-alih untuk pelatihan online, yang tidak menjamin penerimaan kerja karena industri loyo, anggaran Kartu Prakerja seharusnya dapat dikucurkan seluruhnya menjadi bantuan langsung tunai bagi pekerja terdampak," ungkap Ellena.

Selain itu, pemerintah mesti memperbanyak skema bantuan langsung dengan anggaran yang dimiliki tiap kementerian/lembaga kepada kelompok masyarakat terdampak sesuai bidang kerjanya masing-masing. Ellena mencontohkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif seharusnya tidak menggantungkan nasib pekerja di bidang tersebut hanya pada skema Program Keluarga Harapan atau Kartu Prakerja.

"Kedua kementerian itu sebenarnya bisa menyalurkan anggaran tunai sebagai modal pekerja seni/budaya/kreatif untuk bisa memproduksi karya dan bertahan hidup. Pemerintah juga dapat menyewa karya-karya yang sudah diproduksi, misalnya film, dan didistribusikan gratis melalui aplikasi buatan perusahaan negara sehingga pekerja tetap mendapat pemasukan," kata dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya