Logo BBC

Memburu Buron Koruptor, Begini Cara yang Disarankan Pakar

BBC Indonesia
BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Pemerintah dan penegak hukum Indonesia dinilai perlu menjalin kerja sama hukum yang baik dengan lebih banyak negara jika ingin memulangan buronan seperti Maria Pauline Lumowa.

Maria, buronan tersangka kasus pembobolan bank BNI senilai Rp1,7 triliun, baru-baru ini diekstradisi dari Serbia melalui apa yang digambarkan sebagai "jalur diplomasi tingkat tinggi" yang dijalin sejak Juli 2019.

Indonesia dan Serbia tidak memiliki perjanjian ekstradisi, namun kedua negara meratifikasi Konvensi PBB tentang Antikorupsi, atau UNCAC, yang menekankan kerja sama antarnegara untuk memperlancar investigasi atau proses pidana terhadap para koruptor.

"Tapi memang kendala utama, tidak hanya di Indonesia tapi di negara-negara lain, adalah bagaimana membangun atau menjalin mutual legal assistance (MLA) atau kerja sama hukum timbal balik pidana," kata Kurnia Ramadhana, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW).

"Namun kalau bicara MLA kan bukan penangkapan, sehingga membutuhkan juga instrumen perjanjian ekstradisi," kata Kurnia.

 

 

Pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan perjanjian ekstradisi dengan sebuah negara bukan menjadi jaminan bahwa negara tersebut akan memulangkan buron koruptor yang tengah dicari Indonesia, meskipun hal tersebut dapat mempermudah pemulangan mereka.

"Kita dengan Australia punya perjanjian ekstradisi. Tapi ketika kita minta Hendra Rahardja, Hendra pergi ke pengadilan di Australia, minta kepada pengadilan agar pihak eksekutifnya tidak mengembalikan ia ke Indonesia, dan dikabulkan, meskipun kita punya perjanjian ekstradisi," jelas Hikmahanto.

Hendra Rahardja merupakan terpidana seumur hidup dalam kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp2,569 triliun.

Ia dikabarkan meninggal dunia di Australia pada 2003.

ICW mencatat saat ini ada sekitar 40 buronan koruptor yang masih berada di luar negeri. Menurut Kurnia, para pelaku korupsi banyak meletakkan uangnya di negara-negara seperti "Swiss atau mungkin Singapura".

Tidak diketahui berapa jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh buron koruptor dalam 30 tahun terakhir, namun ia mengatakan bahwa jumlahnya "sangat fantastis".

 

Perjanjian dengan Singapura `tak kunjung diratifikasi`

 

Paku Utama, konsultan hukum dan praktisi pelacakan aset pidana, mengatakan bahwa buron koruptor di Indonesia menyimpan uangnya di luar negeri di negara-negara seperti di "Singapura, British Virgin Island, Cayman Island, Guernsey, dan Seychelles".

Singapura menjadi salah satu negara yang dipilih untuk menyimpan uang hasil kejahatan buron koruptor dari Indonesia karena "mereka paham skema-skema restrukturisasi bisnis untuk mengelabui otoritas terkait".

"Kalau ditanya apakah Singapura itu destinasi [favorit buron koruptor], saya bilang tergantung, karena aturan [moneter] di Singapura itu lebih ketat dari Indonesia," kata Paku.

"Kalau dari beberapa perkara seperti kasus Gayus Tambunan dan kasus Maria Pauline Lumowa ini, mereka ada juga aliran uang ke Singapura karena orang-orang ini paham skema-skema restrukturisasi [bisnis atau utang fiktif], jadi mereka tidak bawa uang secara cash ke Singapura," ujar Paku.

"Ini tidak cuma terjadi di Singapura, [buron koruptor biasa membawa uangnya] ke Hong Kong, Seychelles, British Virgin Islands. Kenapa Singapura? Mungkin karena kalau dari jarak juga dekat [dari Indonesia]."

Maria Pauline Lumowa merupakan salah satu tersangka pelaku pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru, Jakarta, senilai Rp1,7 triliun lewat Letter of Credit (L/C) fiktif.

Sjamsul Nursalim, tersangka kasus korupsi BLBI Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI); Samadikun Hartono, tersangka korupsi BLBI Bank Modern; dan tersangka korupsi Cessie Bank Bali, Djoko Tjandra; adalah beberapa buron yang dikabarkan pernah bermukim di Singapura setelah lari dari Indonesia.

Kurnia Ramadhana dari ICW mengatakan, payung hukum internasional yang memungkinkan negara-negara di dunia untuk bekerja sama dalam memburu koruptor sudah tersedia melalui Konvensi Anti-Korupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau UNCAC.

"Sebenarnya payung hukum internasional sudah ada, dalam kesepakatan UN Convention Against Corruption pada tahun 2003, di mana salah satu pasal dalam kesepakatan itu meminta agar suatu negara yang diduga ada buronan [koruptor] di sana, untuk membantu negara yang sedang melakukan pencarian. Itu payung hukum globalnya," kata Kurnia.

"Tapi memang kendala utama, tidak hanya di Indonesia tapi di negara-negara lain, adalah bagaimana membangun atau menjalin MLA atau kerja sama hukum timbal balik pidana. Namun kalau bicara MLA kan bukan penangkapan, sehingga membutuhkan juga instrumen perjanjian ekstradisi."

Perjanjian ekstradisi antara Singapura dan Indonesia telah dibahas sejak tahun 1970-an.

Pembahasan rancangan perjanjian ekstradisi sendiri telah ditandatangani oleh pemimpin kedua negara pada tahun 2007 di Bali, namun ini tidak akan efektif jika belum diratifikasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari mengatakan lewat pesan singkat kepada BBC Indonesia bahwa agenda ratifikasi perjanjian ekstradisi dengan Singapura belum ada.

"Komisi I pasti akan segera membahas jika ditugaskan oleh pimpinan DPR. Setahu saya ratifikasi tersebut belum masuk DPR, silahkan dicek," kata Abdul Kharis.

Ketika ditanya kenapa belum diprioritaskan, Abdul mengatakan, "Ya nggak tahu."

"Yang pasti sampai saat ini Komisi I tidak punya pembahasan ratifikasi yang berhenti."

Menurut Hikmahanto Juwana, perjanjian ekstradisi tersebut diikuti oleh kerja sama pertahanan antara kedua negara, atau DCA, di mana pemerintah Singapura meminta agar sebagian wilayah di sekitar Sumatera dan Kepulauan Riau dapat dipakai untuk latihan militer.

"Waktu mau dilihat isi perjanjian DCA itu, rakyat ramai-ramai mengatakan `Wah ini sih menguntungkan Singapura, masak kedaulatan tanah [air] itu digadaikan dengan para pelaku kejahatan`, tidak mau mereka. Akhirnya isunya menjadi ramai, sehingga surat Presiden [Susilo Bambang Yudhoyono] ke DPR saat itu untuk minta agar [perjanjian ekstradisi] ini diratifikasi tidak dikirim," jelasnya.

Sejauh ini, Indonesia baru tercatat memiliki perjanjian ekstradisi dengan tujuh negara yakni China, Malaysia, Filipina, Thailand, Australia, Hong Kong, dan Korea Selatan.

 

Jalur lain

 

Namun Kurnia, peneliti ICW, mengatakan perjanjian ekstradisi bukan satu-satunya jalur yang bisa ditempuh pemerintah Indonesia dalam memburu buronan koruptor di luar negeri.

"Ada jalur formal melalui ekstradisi dan mutual legal assistance (MLA), ada jalur nonformal juga yang kerap disebut G2G, atau government to government, yaitu menjalin hubungan baik antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara terkait, dan penegak hukum kita dengan penegak hukum di negara terkait. Kalau itu sudah dijalin maka peran tim untuk menangkap Maria Lumowa ini bisa diterapkan terhadap buron-buron lainnya," kata Kurnia.

Hikmahanto mengatakan timbal balik antara dua negara pernah dijadikan alasan saat Amerika Serikat memulangkan David Nusa Wijaya, terpidana korupsi BLBI lainnya, pada 2008, ke Indonesia.

"Amerika Serikat dan Indonesia tidak punya perjanjian ekstradisi tapi AS punya kepentingan terhadap Indonesia. Apa kepentingan AS? Kepentingan AS adalah agar Indonesia terus memerangi terorisme, ini yang kita jadikan alat untuk kemudian David Nusa Wijaya kembali ke Indonesia," katanya.

 

Tim pemburu koruptor `sangat tidak dibutuhkan`

 

Menemukan para buron koruptor ini memunculkan wacana menghidupkan lagi tim pemburu yang pernah dibentuk pemerintah.

Namun tim ini dianggap tidak akan efektif jika tidak dibarengi dengan komitmen yang kuat dari penegak hukum untuk menangkap para buronan tersebut.

"Sebenarnya kita tidak memandang itu sebagai hal yang sangat dibutuhkan saat ini, karena yang penting untuk diperkuat adalah penegak hukumnya," kata Kurnia.

"Yang penting adalah komitmen pimpinan penegak hukumnya. Kalau kita berkaca ke belakang sebenarnya banyak buronan yang bisa diringkus oleh penegak hukum, akan tetapi hal itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang penting," katanya.

"Ada tidaknya perjanjian ekstradisi, yang penting sekarang adalah komitmen [penangkapan buron koruptor] yang kuat. Kalau cuma membentuk tim pemburu koruptor, saya katakan masih kurang."

"Saya selalu katakan, cari detektif swasta, detektif yang beroperasi lintas negara dan ia bisa mencari tahu lokasi tepatnya koruptor itu di mana. Lalu informasi itu disampaikan ke pemerintah kita, pemerintah kita kemudian menyampaikan ke pemerintah negara tempat dia bermukim, dan otoritas negara itu yang melakukan penangkapan," kata Kurnia.

Ia mengatakan, ketika tim pemburu koruptor dibentuk pada tahun 2004, hasil yang dicapainya "tidak maksimal" dan kinerjanya "tidak dievaluasi."

Menurut Hikmahanto, buron koruptor di luar negeri bisa ditangkap jika Indonesia mempekerjakan detektif swasta yang dapat bekerja di tempat buron tersebut bermukim.