Terusik Setelah 10 Tahun Aceh Damai

Penyisiran kelompok bersenjata di Aceh
Sumber :
  • ANTARA/Rahmad

VIVA.co.id - Awal 2015, Provinsi Aceh dihadapi dengan sejumlah kasus yang tidak baik. Mulai dari ditangkapnya bandar narkoba dengan barang bukti yang cukup besar, hingga penembakan dua anggota TNI yang dianggap membangkitkan luka lama.

Kasus demi kasus ini menimbulkan duka yang cukup serius bagi warga Aceh. Masyarakat Aceh yang sudah merasakan damai hampir 10 tahun merasa terganggu. Kesedihan dan ketakutan pun tergurat jelas di wajah masyarakat Aceh.

Namun, di balik dua kasus besar itu, ada kasus lainnya yang dianggap cukup penting dan lagi-lagi mencoreng wajah Aceh. Yaitu, kasus temuan bayi yang tak memiliki ayah dan ibu yang semakin marak di Aceh.

Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Aceh, mengaku bahwa kasus ini merupakan maslah serius. “Di Aceh Utara saja, tahun ini sudah lima kasus sampai pertengahan April ini,” ujar Ketua LBH APIK Aceh, Roslina Rasyid, kepada VIVA.co.id, Senin 13 April 2015.

Pihaknya mengungkapkan, sejak Desember 2014 hingga pertengahan April 2015, ada sekitar 12 kasus yang masuk dalam catatan mereka. Kasus-kasus tersebut, terdapat di Aceh Utara sebanyak tujuh kasus, Bireuen dua kasus, kemudian Bener Meriah, Aceh Besar, dan Aceh Barat, masing-masing satu kasus.

Perempuan Aceh Ini Pingsan setelah Dicambuk 12 Kali

Diskriminatif terhadap perempuan

Roslina menambahkan, ada kejanggalan selama ini dalam penanganan kasus temuan bayi oleh aparat penegak hukum. Selam ini, selalu pihak perempuan, atau ibu dari si bayi yang dicari. Sang ibu selalu dianggap tersangka utama dalam kasus tersebut.

“Sementara, laki-laki yang telah menghamili perempuan, atau pacarnya bebas melenggang, seolah mereka lepas dari kesalahan dan sanksi,” katanya.

Dalam kasus ini, perempuan selalu menerima diskriminatif. Orang-orang baik keluarga, masyarakat, bahkan hingga aparat penegak hukum selalu menyalahkan kenapa perempuan mau melakukannya. Perempuan dianggap paling bersalah dalam kasus ini.

Padahal, ada kaum lelaki yang dengan segala upaya membujuk perempuan hingga melakukan intimidasi untuk melakukan perbuatan terlarang di luar nikah tersebut. “Ketika perempuan hamil dengan mudahnya ingkari janji, malah (laki-laki) menyarankan untuk digugurkan,” ujar Roslina.

Kesalahan yang hanya ditimpal pada perempuan, atau ibu bayi yang dibuang ini merupakan bentuk dari sistem hukum yang tidak jelas. Menurut aktivis permpuan ini, sistem hukum di Indonesia masih bias gender.

Kata dia, perempuan sebagai penjaga moral dituntut untuk menanggung sendiri semua akibatnya. Dengan segala beban ketakutan, malu, dan sulit menjelaskan kepada orang lain, mereka memilih membuang bayinya, karena tak sanggup menanggung beban sendiri. Takut dicap anak haram.

“Saya yakin, tidak ada perempuan di dunia ini yang tega membuang bayi darah dagingnya sendiri. Kalau bukan persoalan moral yang harus dijaga dan dibebani kepadanya, apakah ini cukup adil?” ujarnya.

Pemerintah, kata Roslina, melalui badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak melakukan upaya-upaya preventif. Sosialisasi dan pembelajaran tentang kesehatan reproduksi. Termasuk, pendekatan agama yang lebih humanis.

“Bagaiamana bahaya melakukan hubungan seksual di luar pernikahan, karena memberi dampak buruk. Kalau untuk keluarga, komunikasi adalah kunci dari relasi yang dibangun dalam keluarga antara anak, ayah, ibu, dan anggota keluarga lainnya.”

Penting, menurut dia, untuk saling terbuka, berbagi informasi, dan saling menguatkan. “Anak butuh figur dan teladan yang baik. Terus terang, kita kehilangan teladan saat ini, dari pemimpin dan orang-orang yang kita anggap mampu membawa kita kea rah yang lebih baik,” kata Roslina. (asp)

![vivamore="
54 Hektare Ladang Ganja Dimusnahkan
Baca Juga :"]
Suami Dibunuh, Istri Prajurit TNI Minta Dijadikan PNS

[/vivamore]
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya