Kisah Raja Padjadjaran Masuk Islam

Makam Syekh Quro, pembawa ajaran Islam di Jawa Barat
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dody Handoko

VIVA.co.id - Apakah Prabu Siliwangi adalah seorang Muslim? Raja Padjadjaran itu konon mengikuti ajaran Islam yang dibawa oleh Syekh Hasanuddin atau lebih dikenal dengan nama Syekh Quro, ulama penyebar Islam di Jawa Barat.  

Kisah Pelukis Arwah Si Manis Jembatan Ancol

Disebutkan, Prabu Siliwangi menjadi mualaf ketika akan menikahi santriwati Syekh Quro yaitu Nyi Subang Larang. Kisah itu berdasarkan buku Carita Purwaka Caruban Nagari yang ditulis Pangeran Arya Cirebon pada tahun 1720.

Alkisah, saat itu rombongan Syekh Quro melewati Laut Jawa dan Sunda Kelapa, masuk Sungai Citarum. Waktu itu di sungai tersebut ramai dipakai keluar masuk para pedagang ke Padjadjaran, akhirnya rombongan itu singgah di Pelabuhan Karawang. 

Cerita Bung Karno Jadi Model Patung Bundaran HI

Mereka masuk Karawang sekitar tahun 1416 M. Aparat setempat sangat menghormati dan memberikan izin untuk mendirikan musala di era 1418 Masehi, sebagai sarana ibadah sekaligus tempat tinggal mereka.

“Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang, Syekh Quro menyampaikan dakwahnya di musala yang dibangunnya, sekarang masjid Agung Karawang,” ujar Rista, juru kunci makam Syekh Quro di Pulo Bata, Karawang.

Pria Ini Sampaikan Kemerdekaan Indonesia ke Dunia

Ulama besar ini sering mengumandangkan suara Qor'inya yang merdu bersama murid-muridnya, termasuk Nyi Subang Larang, Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur, dan santri lainnya seperti Syekh Abdulah Dargom alias Darugem alias Bentong bin Jabir Modafah alias Ayekh Maghribi keturunan dari sahabat Nabi (sayidina Usman bin Affan).

Berita kedatangan kembali Syekh Quro, rupanya terdengar oleh Prabu Anggalarang yang pernah melarang penyebaran agama Islam di tanah Jawa, sehingga Prabu Anggalarang mengirim utusannya untuk menutup pesantren Syekh Quro. 

Utusan yang datang itu adalah putra mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa. Sesampainya di pesantren, putra mahkota tersebut hatinya tertambat oleh alunan suara yang merdu yang dikumandangkan oleh Nyi Subang Larang, dalam mengalunkan suara pengajian Al-Qur’an.

Prabu Pamanah Rasa akhirnya mengurungkan niatnya untuk menutup pesantren tersebut karena dia jatuh cinta pada Nyi Subang Larang yang cantik dan merdu suaranya. Akhirnya Prabu Pamanah Rasa melamar dan ingin mempersunting Nyi Subang Larang sebagai permaisurinya. 

“Pinangan tersebut diterima, tapi dengan syarat mas kawinnya yaitu Lintang Kerti Jejer Seratus, yang dimaksud itu adalah simbol dari tasbih yang merupakan alat untuk berwirid. Sumber lain menyatakan bahwa hal itu merupakan kiasan bahwa sang prabu haruslah masuk Islam, dan patuh dalam melaksanakan syariat Islam,” kata Rista.

Selain itu, Nyi Subang Larang mengajukan syarat lain yaitu, agar kelak anak-anak yang lahir dari mereka harus menjadi raja. Menurut cerita, semua permohonan Nyi Subang Larang disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa. Atas petunjuk Syekh Quro, Prabu Pamanah Rasa segera pergi ke Mekkah.

Di tanah suci Mekkah, Prabu Pamanah Rasa disambut oleh seorang kakek penyamaran dari Syekh Maulana Jafar Sidik. Prabu Pamanah Rasa merasa kaget, ketika namanya diketahui oleh seorang kakek, yang bersedia membantu mencarikan Lintang Kerti Jejer Seratus dengan syarat harus mengucapkan dua kalimah syahadat. 

Sang Prabu Pamanah Rasa denga tulus dan ikhlas mengucapkan dua kalimah syahadat yang sekaligus membuatnya masuk agama Islam. 

Semenjak itulah, Prabu Pamanah Rasa masuk agama Islam dan menerima Lintang Kerti Jejer Seratus atau Tasbeh. Mulai dari itu, Prabu Pamanah Rasa diberi ajaran tentang agama Islam yang sebenarnya. Prabu Pamanah Rasa segera kembali ke Keraton Padjadjaran untuk  melangsungkan pernikahannya dengan Nyi Subang Larang .

Pada tahun 1422 M, pernikahan dilangsungkan di Pesantren Syekh Quro dan dipimpin langsung oleh Syekh Quro. Setelah menikah Prabu Pamanahah Rasa dan dinobatkan sebagai Raja Pakuan Padjadjaran dengan gelar Prabu Siliwangi. 

Hasil dari pernikahan tersebut mereka dikarunia 3 anak yaitu, Raden Walangsungsang (1423 Masehi), Nyi Mas Rara Santang (1426 Masehi), dan Raja Sangara (1428 Masehi).

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya