Menyibak Tabir Perjanjian Gaib Penari Tayub

Gapura
Sumber :

VIVA.co.id - Kota Nganjuk, Jawa Timur tak hanya dikenal sebagai kota angin, tapi juga sebagai sarangnya para penari seksi dan cantik atau waranggono. Pasalnya, di kabupaten ini terdapat sebuah padepokan dan punden keramat yang setiap tahunnya dijadikan tempat meluluskan para waranggono.

Misi Pemerintah Lewat Transformasi Digital Capai Target Pertumbuhan Ekonomi 5,2% di 2024

Padepokan itu berada di Desa Ngrajek, Kecamatan Tanjung Anom. Jika kebetulan bertandang ke kawasan itu, maka di pintu masuk desa akan disambut dengan penampakan gapura bertuliskan Bang Punden Ngrajek.

Gapura itu merupakan simbol dari keberdaaan sebuah punde berupa sumur bernama Mbah Ageng. Selain itu, gapura itu juga sebagai simbol keberadaan padepokan bernama Langen Tayub yang merupakan markasnya para penari tayub di Nganjuk.

Trik Simpel Ivan Gunawan, Agar Silaturahmi Lebaran Bisa Tetap Glowing

Setiap hari, warga di Desa Ngrajek beraktivitas seperti masyarakat biasanya, sehingga desa tersebut tidak terlihat sebagai pusat kesenian tayub di Kabupayen Nganjuk. Tidak ada aktifitas yang terlihat dari para waranggono. Para waranggono ini umumnya memiliki aktifitas lain. Ada yang bekerja, berdagang bahkan ada yang hanya sebagai ibu rumah tangga. Ya karena hanya pada bulan-bulan tertentu saja mereka bisa terlihat kegiatannya dalam seni tayub.

Akan tetapi jika ada hari-hari besar atau ada warga yang memiliki hajat desa tersebut, sudah  pasti akan ramai dengan penampilan kesenian tayub. Terlebih jika pada Jumat Pahing yang jatuh di bulan Zulhijah atau bulan besar dalam penanggalan Jawa. Desa tersebut akan sangat ramai oleh para pendatang dari desa lain bahkan juga dari masyarakat kota lain yang sengaja datang hanya untuk melihat kemahiran para waranggono di atas panggung.

Selanjutnya... Tarian para permaisuri...



Tarian para permaisuri
 
Menurut sejarah, tayub lahir sebagai tarian rakyat pada abad ke XI. Saat itu, Raja Kediri berkenan mengangkatnya ke dalam puri keraton dan membakukannya sebagai tari penyambutan tamu keraton. Tayub telah ditampilkan dalam acara penobatan Prabu Suryowiseso sebagai Raja Jenggala, Jawa Timur pada abad XII.
 
Keraton Jenggala kemudian menetapkan tayub sebagai tari adat kerajaan dan mewajibkan permaisuri raja menari ngigel (goyang) di pringgitan untuk menjemput kedatangan raja.

Panen Raya di Purwakarta Jelang Lebaran Dimassifkan Perkuat Ketahanan Pangan

Meski dari awal, tayub adalah seni gambyong istana, pada perkembangannya harus keluar dan terdegradasi menjadi seni rakyat, yang makin hari dipandang dari sisi mesumnya, berkualitas rendah dan bertendensi prostitusi.
 
Masyarakat umumnya memandang kesenian tayub dari sisi negatifnya. Dan bukan salah mereka jika mereka memandang seni tayub seperti itu. Semua itu disebabkan ulah para tamu atau para penikmat seni tayub yang seringkali menikmati tayub dengan mabuk-mabukan serta tak jarang melecehkan para waranggono yang sedang menari di atas panggung.

Menurut Soegio Pranoto, sesepuh asal Nganjuk, tayub merupakan singkatan dari ditata ben guyub (diatur agar tercipta kerukunan). Sebuah filosofi yang ditanamkan pada tayub sebagai kesenian untuk pergaulan.

"Tayub adalah tari pergaulan tetapi dalam perwujudannya bisa bersifat romantis dan bisa pula erotis. Dalam pelaksanaannya para tamu mendapat persembahan sampur dari waranggono. Tamu itu kemudian menari berpasangan dengan ledhek, seirama dengan iringan gamelan, sesuai dengan gending yang dipesan," ujarnya.

Selanjutnya... Perjanjian gaib penari dengan arwah...




Perjanjian gaib penari dengan arwah
 

Menjadi seorang penari tayub tak semudah yang dibayangkan orang awam. Berbagai ritual harus dijalankan. Upacara yang mengharuskan para calon penari mengikat janji dengan alam gaib.

Terkadang himpitan ekonomi membuat para calon penari tak peduli, bahkan mungkin tak mengerti akan semua ucap sumpah yang mereka lantunkan lewat mantra dan gerak tari persembahan untuk para arwah.

Ritual yang harus dijalani para calon penari tayub adalah prosesi Gembayangan. Masyarakat setempat menyebutnya wisuda waranggono.
 
Tahap pertama prosesi ini adalah amek tirto atau pengambilan air suci di air terjun bernama Sedudo yang berada sekitar 30 kilometer arah selatan Ngrajek. Untuk menjalani tahap ini, para calon waranggono harus mampu menari minimal 10 gending tarian. Pada tahapan ini, mereka dipapah menemui juru kunci Sedudo untuk menyerahkan sesajen sekaligus meminta restu.
 
Setelah restu diyakini sudah didapat, mereka harus menari di dalam air terjun berketinggian 137 meter ini sebagai tanda penghormatan. Kemudian, barulah pengambilan air suci dilaksanakan melalui perantara Sedudo. Selanjutnya, air yang telah dimasukkan ke dalam wadah yang disebut klenteng tadi diserahkan kepada sesepuh seni tayub untuk dipercikkan ke kepala mereka. Sejak saat itu, para gadis tadi resmi menjadi waranggono.
 
Selama ini waranggono memiliki citra negatif yakni dikenal sebagai wanita penggoda. masyarakat menganggap bahwa tarian tayub sama saja dengan tarian erotis atau tarian mesum. Padahal  menjadi waranggono tak cuma bermodalkan wajah cantik. Kepiawaian menari dan menyanyi lagu-lagu Jawa menjadi modal penting untuk dapat menjadi waranggono profesional. Seorang waranggono dituntut dapat memuaskan para tamu dengan lagu-lagunya yang memikat serta tariannya yang memesona.

Selain itu, seorang waranggono harus selalu bersikap santun dan sabar. Mereka juga harus selalu waspada karena yang dihadapinya bukanlah orang-orang yang dia kenal baik. Mereka harus menghadapi lawan jenis yang sewaktu-waktu bisa bersikap jahil. Apalagi, sebelum acara dimulai, para tamu biasanya sudah meminum minuman keras.

(mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya