DPR Tuding Pemerintah Lalai Awasi Vaksin di RS Swasta

Seorang tenaga medis menunjukkan vaksin campak
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

VIVA.co.id – Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari fraksi PAN, Ali Taher menyatakan, kasus vaksin palsu adalah bentuk kejahatan yang luar biasa. Kasus ini menyebabkan ribuan anak-anak di Indonesia menjadi korban kejahatan sindikat pengedar.

'Vaksin Palsu, Dokter dan Rumah Sakit Jangan Dikorbankan'

Ali menilai, kasus pemalsuan vaksin yang dikabarkan beroperasi sejak tahun 2003 oleh CV Azka Medika itu, telah menunjukan pelaku pemalsu dan penyebar vaksin palsu itu kelompok sindikat terorganisir.

Kejahatan itu dilakukan dengan sengaja dan melibatkan sejumlah instansi terkait yaitu, Rumah Sakit (RS) di mana terdapat dokter dan farmakolog (ahli farmasi), yang seharusnya mengetahui vaksin itu, asli atau palsu.

Orangtua Korban Vaksin Palsu Minta Ganti Uang

"Ini merupakan kejahatan yang luar biasa dan terorganisir yang harus juga diberikan sanksi hukuman yang berat," kata Ali Taher usai menghadiri diskusi Perlindungan Anak Terhadap Kekerasan Seksual di Gedung Graha Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta Selatan, Senin 18 Juli 2016.

Politisi partai PAN yang juga sempat menjabat sebagai salah satu direktur di sebuah RS swasta itu mengisahkan, RS swasta memang diberikan kewenangan dalam membeli atau menggunakan jenis vaksin yang diperoleh dari perusahaan distributor obat-obatan dan vaksin. Hanya saja, lanjutnya, dalam menggunakan atau membeli vaksin dari distributor, setiap RS harus memenuhi beberapa Standar Operasional Perusahaan (SOP) yang sudah ditetapkan pemerintah.

Ketua DPRD Sebut Pemkab Klungkung Komitmen Tangani Kerusakan Jalan di Nusa Penida

Ia mengatakan, jika melihat dari jam terbang para sindikat pengedar vaksin palsu yang sudah beroperasi 13 tahun silam, tanpa tercium oleh aparat berwenang, terdapat kelalaian yang dilakukan pemerintah dalam melakukan kontrol terhadap obat-obatan yang ada di Indonesia.

"Kasus ini juga membuktikan bahwa Pemerintah dalam hal ini Kemenkes dan Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM) lambat mengidentifikasi pemalsuan vaksin ini," ujarnya.

Laporan Rifki Arsilan dari Jakarta

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya