IPT 65: Penyiksaan Jenderal di Lubang Buaya Cuma Propaganda

Diorama pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya dalam Peristiwa G30S-1965.
Sumber :
  • VIVA.co.id / Anwar Sadat

VIVA.co.id - Pada 1 Oktober 1965 dini hari, sekelompok militer pimpinan Letnan Kolonel Untung melakukan suatu operasi yang dinamakan Gerakan 30 September. Akibat aksi itu, sedikitnya enam jenderal senior dan seorang perwira Angkatan Darat tewas.

Lebih dari 400 Penjahat di Jadetabek Ditangkap dalam 15 Hari

Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto, dan kelompoknya – yang kemudian mendirikan rezim Orde Baru – langsung menuduh Partai Komunis Indonesia sebagai dalang dari gerakan tersebut. Bahkan, mereka kemudian menyiarkan kabar bahwa para jenderal itu disiksa, kemaluan dipotong, tubuh disilet, dan diiringi tari harum bunga oleh para aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) sebelum dibunuh.

Seluruh media massa Indonesia yang sudah mereka kontrol penuh memberitakan kabar tersebut. Akibatnya muncul histeria massa, dan menjadi salah satu pemicu terjadinya pembantaian massal atas anggota PKI dan orang-orang yang dituduh terlibat G30S.

Selama Ramadhan 2024, Polisi Sebut Angka Kejahatan di Jaksel Menurun

Namun, putusan Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) 1965 yang digelar di Den Haag, Belanda, memutuskan lain. Mereka menyebut rezim Soeharto sudah melakukan propaganda sebagai satu dari 10 jenis kejahatan kemanusiaan lainnya.

"Versi resmi atas apa yang terjadi pada orang-orang yang ditangkap di Lubang Buaya sepenuhnya tidak benar. Fakta yang sebenarnya terjadi diketahui oleh para pimpinan militer di bawah Jendral Suharto dari sejak awal namun kemudian sengaja dipelintir untuk kepentingan propaganda," tulis pernyataan yang merupakan ringkasan dari putusan sidang di situs IPT 1965, www.tribunal1965.org, seperti dikutip VIVA.co.id, Kamis 21 Juli 2016.

6 WNI Dibekuk Polisi Hong Kong Setelah Curi 25 Jam Tangan Senilai Rp 12 Miliar

Laporan itu juga menyebutkan bahwa kampanye propaganda yang disebar terkait orang-orang yang terlibat dengan PKI akhirnya membenarkan tindakan penuntutan hukum, penahahan, dan pembunuhan para tersangka dan melegitimasi kekerasan seksual dan segala tindakan tidak manusiawi yang dilakukan.

Propaganda yang bertahan selama 3 dekade itu kemudian memberikan kontribusi tidak hanya pada penolakan terpenuhinya hak sipil para penyintas dan juga pemberhentian tuntutan atas mereka.

"Menyebarkan propaganda sesat untuk tujuan melakukan tindakan kekerasan adalah sebuah tindakan kekerasan itu sendiri. Tindakan mempersiapkan sebuah kejahatan tidak bisa dipisahkan dari kejahatan itu sendiri. Bentuk persiapan semacam ini memberikan jalan dan merupakan bagian awal dari serangan sesungguhnya," tulis laporan tersebut lagi.

Sebelumnya, sidang Internasional People's Tribunal (IPT) 1965 mengeluarkan putusan final. Majelis Hakim menyatakan bahwa Indonesia bertanggung jawab dan bersalah atas kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, atas tindakan dan perbuatan tidak manusiawi, khususnya yang dilakukan oleh pihak militer melalui sistem komando.

Tindakan kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang dilakukan oleh Indonesia dengan dikomandoi oleh militer itu meliputi; pembunuhan, hukuman penjara, perbudakan, penyiksaan, penghilangan secara paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda, keterlibatan negara lain dan genosida. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya