Korban Perkosaan Dosen Justru Diskorsing Otoritas Kampus

ilustrasi kekerasan seks
Sumber :
  • VIVA.co.id/istimewa

VIVA.co.id – Seorang mahasisiwi Universitas Kristen Tentena, Poso, Sulawesi Tengah, disanksi skorsing karena diduga merusak nama baik kampusnya. Padahal, mahasiswi berinisial MA (19 tahun) itu, diduga menjadi korban pemerkosaan oleh dosen di tempatnya menimba ilmu.

Kronologi Pemerkosaan Hingga Pembunuhan Wanita Muda di Sawah Besar

Pelakunya diduga dosen yang menjabat sebagai ketua jurusan pada salah satu program studi di kampus yang pembangunannya diprakarsai peletakkan batu pertama oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 2007 silam.

Di Poso, salah satu pendamping korban dari Institut Mosintuwu, Evi Tampakatu, menceritakan dugaan kekerasan seksual itu bermula saat korban diajak berpacaran pada Agustus 2015. 

Tampang Pemerkosa dan Pembunuh Wanita Muda di Sawah Besar

Awalnya ajakan itu ditolak MA. Lalu terduga pelaku memanfaatkan jabatannya sebagai dosen, dan mengancam akan mempengaruhi dosen lain di kampus untuk mengurangi nilai akademik MA.

"Untuk menjadi pacarnya, apabila korban tidak mau, selalu diancam dia akan pengaruhi dosen lain untuk memberi nilai buruk," jelas Eva di Poso, Kamis, 13 Oktober 2016.

Pembunuhan Wanita di Sawah Besar, Ada Sperma di Kemaluan Korban

Khawatir akan kehilangan beasiswa jika nilainya buruk, akhirnya MA pasrah dan mau menerima ajakan terduga pelaku untuk menjalin hubungan asmara.

Tapi jalinan kasih ini tak seindah kisah Rama Shinta dalam cerita Ramayana. Selama setahun mereka berhubungan, terduga pelaku kerap melakukan kekerasan terhadap MA.

"Dari segi perlakuan sangat tidak manusiawi," ucap Evi.

Dia pun menceritakan bagaimana MA pada suatu ketika dipaksa datang ke rumah sang dosen di malam hari, dan baru diperbolehkan pulang sekitar pukul 01.00 WITA dini hari. Padahal di daerah Tentena, tak ada lagi angkutan umum yang beroperasi pada jam tersebut.

Sebagai kekasih, terduga pelaku juga tak mau mengantarkan MA pulang. "Dia terpaksa jalan kaki pulang ke rumah kosnya, padahal lokasinya itu cukup jauh."

Bukan itu saja, pernah suatu ketika MA ditinggalkan sendirian di sebuah hutan di pinggiran kota Tentena.

Evi melanjutkan, berdasarkan pengakuan korban, pertama kali korban diminta melakukan hubungan seksual terjadi pada Maret 2016. Kala itu, korban sontak menolak. 

Namun sekali lagi, sang dosen menggunakan ancaman serupa saat meminta MA menjadi kekasihnya. Yaitu mempengaruhi dosen lain untuk memberikan nilai buruk, sehingga dia tak bisa lulus kuliah.
 
“Yang lebih menyedihkan, pelaku mengatakan kepada korban kalau dia merekam dengan video tersembunyi aksinya kepada korban. Ancaman dengan rekaman tersebut digunakan pelaku agar korban patuh kepadanya,” kata Evi.

Video tersebut kemudian benar-benar dikeluarkan sang dosen, karena MA tegas menolak dan tak mau lagi berada di dekatnya.

Cuplikan itu diperlihatkan terduga pelaku pada beberapa teman MA di kampus. Seraya meminta mereka menjauhi korban. Jika masih bergaul dengannya, sang dosen mengancam untuk memberikan nilai akademik yang buruk.

Pasca video itu diperlihatkan, pihak kampus  mendapati laporan sehingga turun tangan. Bukannya mendapatkan perlindungan atau dukungan, dia justru menerima skorsing. 

Dalam surat skorsing yang ditandatangani Rektor Universitas Kristen Tentena, Lies Sigilipu, disebutkan bahwa MA dilarang mengikuti perkuliahan selama satu semester karena dianggap merusak nama baik kampus dan melanggar etika moral.
 
“Sanksi yang diberikan kepada korban terhitung sejak 2 Oktober 2016. Selama masa skorsing, korban tidak dibenarkan mengikuti semua proses perkuliahan maupun kegiatan akademik lainnya di kampus,” ungkapnya.

Selain skorsing, pihak kampus mencabut beasiswa MA tanpa alasan jelas. Akibat skorsing, biaya kuliah MA yang sudah lunas untuk semester ini juga dianggap hangus karena dia tak bisa mengikuti kegiatan belajar.

Evi menyayangkan sikap kampus, karena seharusnya melindungi korban dengan cara memberikan pendampingan, membantu penyembuhan trauma, hingga menyelesaikannya secara hukum.
 
"Saat ini korban sangat tertekan dan ketakutan. Dia mengalami intimidasi berlapis-lapis dari dalam lingkungan kampusnya," jelas Evi.

Saat ini, kasus ini sudah ditangani kepolisian setempat. Korban pun sudah diungsikan di rumah perlindungan perempuan dan anak Institut Mosintuwu. "Laporannya (ke polisi) dua minggu lalu, akhir September ke Polsek Pamona Utara."

Baik korban dan terduga pelaku sudah menjalani pemeriksaan awal terkait kasus ini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya