Bahayakan Nyawa, Aksi Semen Kaki Dilaporkan ke Polisi

Para petani Kendeng saat beraksi memasung kaki dengan adonan semen di dekat Istana Negara sebagai bentuk protes mereka atas pendirian pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id - Sejumlah orang yang bergabung dalam Aliansi Perempuan Rembang Bangkit (APRB) melaporkan aksi semen kaki di depan Istana Merdeka, Jakarta, ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Bareskrim Polri, Kamis, 16 Maret 2017. Mereka beralasan aksi itu membahayakan keselamatan jiwa para peserta.

Mensos Ingin Warga Punya Saham PT Semen Indonesia di Rembang

"Kasihan ibu-ibu itu, kesehatan gimana. Ganti bajunya, tidurnya, terganggulah," kata salah satu perwakilan dari APRB, Triningsih, saat dihubungi VIVA.co.id.

Triningsih menuturkan bahwa laporan itu bertujuan agar aparat penegak hukum menghentikan aksi pemasungan kaki tersebut. Kemudian, memproses hukum aktor intelektualnya.

Bupati Rembang Klaim Lebih Banyak Warga Dukung Pabrik Semen

"Kita tidak berbicara terhadap sikap pembangunan pabrik PT Semen Indonesia di Rembang. Namun yang sangat miris di hati saya, dan pada umumnya kaum hawa adalah model penyampaian pendapat yang menurut saya tidak menggambarkan perilaku perempuan yang sebenarnya, dan terkesan ada eksploitasi perempuan," tuturnya.

Triningsing melanjutkan, tindakan menyemen kaki tentu memiliki risiko kesehatan yang sangat mengancam nyawa seseorang. Dia meyakini orang Rembang asli yang notabene petani tidak punya pemikiran ke arah sana.

Warga Rembang Surati Presiden Pakai Kertas Semen

"Pasti ada penggeraknya," kata Tri yang tercatat sebagai warga Desa Timbrangan, Rembang tersebut.

Sementara itu, Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Gunritno mempersilakan siapapun termasuk polisi untuk menanyakan langsung pada peserta aksi. Apakah mereka digerakkan atau atas keinginan sendiri dalam melaksanakan aksi.

"Dari setiap masing-masing yang melakukan aksi kakinya dicor, itu ditanya saja. Jadi yang dianggap melanggar, dia itu kan ingin dicor dari hati murani, tidak ada paksaan," kata Gunritno kepada VIVA.co.id, Kamis, 16 Maret 2017.

Gunritno justru menilai pihak yang mempermasalahkan aksi itulah yang digerakkan oleh pihak-pihak tertentu. Selain itu, di Rembang sendiri, lanjut dia, ada pihak yang membuat onar dengan membakar tenda, dan musala.

"Jelas-jelas ada orang yang lihat, ada rekamannya tapi malah kita yang dikriminalkan. Monggo polisi terserah, tindakannya mau gimana," ujarnya.

Gunritno menuturkan berdasarkan putusan Mahkamah Agung, dan instruksi dari Presiden Jokowi pada 2 Agustus, masalah Kendeng harus dilakukan kajian lebih dahulu.

"Selama proses itu, dalam waktu 1 tahun tidak boleh ada izin lagi. Tapi Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan izin. Yang salah siapa? Kalau mau tangkap, tangkaplah Gubenrur Jateng itu," kata dia.

Dia menuturkan aksi semen kaki di Monas itu sendiri sudah berjalan empat hari. Dia memastikan aksi itu terus berlanjut kecuali Jokowi bersedia menemui mereka.

"Berlangsung sampai kami diundang Pak Jokowi, karena kami mau mengadu ke Pak Jokowi. Kami gak usah dibubarkan, kalau Pak Jokowi mengundang kami bertemu untuk menyelesaikan masalah Kendeng, itu cukup," tuturnya.

Sebelumnya, sebelas petani asal Gunung Kendeng, Jawa Tengah, dari kelompok kontra pembangunan pabrik semen kembali menggelar aksi cor kaki di depan Istana Merdeka, Jakata Pusat, Selasa 14 Maret 2017. Aksi dilakukan sebagai bentuk protes pendirian pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah.

Aksi tersebut merupakan lanjutan dari aksi yang sama pada tahun lalu. Pada Selasa 12 April 2016, sembilan perempuan asal Rembang, Jawa Tengah, melakukan aksi mengecor kaki dengan semen di depan Istana Negara, Jakarta.

Aksi pada April tahun lalu itu selesai setelah perwakilan Presiden Joko Widodo mau bertemu mereka. Perwakilan Presiden yang menemui para petani adalah Kepala Staf Presiden, Teten Masduki, dan Menteri Sekretaris Negara, Pratikno.

Diketahui, mereka menuntut Pegunungan Kendeng Utara dibebaskan dari pabrik semen yang didirikan PT Semen Indonesia yang kian hari kian menghabisi lahan mata pencaharian mereka sebagai petani.

Namun, aksi itu tak lepas dari kritik. Pelibatan perempuan dalam aksi cor kaki itu dinilai berisiko dan merupakan eksploitasi pada kaum hawa.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya