Masalah Kelebihan Kapasitas Lapas di Riau Dianggap Terburuk

Ratusan polisi menjaga Rutan Sialang Bungkuk di Pekanbaru, Riau, setelah 200-an tahanan di sana melarikan diri pada Jumat, 5 Mei 2017.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ali Azumar

VIVA.co.id - Masalah kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di Indonesia dianggap sudah akut. Hampir semua tempat narapidana dan tahanan itu sudah kelebihan kapasitas. Namun Riau dinilai paling buruk.

Kakanwil Kumham: Tahanan Kabur di LPKA Jambi Karena Tak Dijaga Polisi

Menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), kelebihan kapasitas di 14 lapas/rutan di Riau sudah mencapai 200 persen. Artinya, jumlah napi atau tahanan berlebih dua kali lipat dari kapasitas normal.

"Provinsi Riau juga memiliki salah satu rutan dengan kelebihan beban terburuk, yaitu Rutan Bagan Siapi-api, yang kelebihan bebannya mencapai 700 persen dari kapasitas hunian,” kata Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi Widodod Eddyono, melalui keterangan tertulisnya pada Sabtu, 6 Mei 2017.

Awal Mula Terungkapnya Puluhan Tahanan Polres Batanghari Kabur

Rutan Sialang Bungkuk di Pekanbaru, kata Supriyadi berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, kelebihan beban mencapai 233 persen dari total hunian. Akibatnya adalah peristiwa ratusan tahanan/napi kabur pada Jumat lalu.

ICJR prihatin atas terjadi kasus berulang yang selalu dialami lapas/rutan di Indonesia, meski kaburnya penghuni Rutan Sialang Bungkuk adalah kejadian terbesar di Indonesia.

Puluhan Tahanan Polres Batanghari Kabur dari LPKA Jambi

"ICJR melihat bahwa masalah di lapas-lapas maupun rutan-rutan Indonesia sudah dalam situasi yang mengkhawatirkan. Masalah utama terkait kelebihan penghuni yang dialami sebagian besar lapas Indonesia sudah dalam kondisi akut. Ini akan menimbulkan krisis akibat kepadatan atau dikenal sebagai over crowding," ujarnya.

Supriyadi mengatakan, belum ada solusi jitu dari pemerintah atas masalah tersebut, karena selama ini pembenahan seperti hanya tambal sulam.

Kurangi tahanan

ICJR melihat beberapa kebijakan telah berupaya mengurangi jumlah asupan narapidana ke penjara, salah satunya kebijakan Mahkamah Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012, yang menaikkan batas minimal tindak pidana ringan dari Rp250 ribu menjadi Rp2,5 juta. Tujuan utamanya adalah mengurangi jumlah tahanan. Ada juga kebijakan rehabilitasi  korban penyalahgunaan narkotika. 

"Namun kebijakan ini belum memberikan kontribusi bagi masalah lapas. Masalah terbesar tetap berada pada tujuan pemidanaan di Indonesia, yang masih kental dengan penjeraan dengan menggunakan pidana penjara. Misalnya, melihat Rancangan KUHP yang sering disebut-sebut oleh Pemerintah, meski ada ketentuan kerja sosial sebagai hukuman alternatif lain di luar pidana penjara, dalam hal jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari enam bulan," ujarnya.

Selain itu, ancaman pidana penjara dalam rancangan KUHP tergolong cukup tinggi. Namun ketentuan itu sangat bergantung pada tuntutan jaksa penuntut umum, dan yang terpenting bergantung pada keputusan hakim untuk menjatuhkan pidana di bawah enam bulan.

"Secara teknis dan praktik, hakim akan susah menjatuhkan pidana rendah (di bawah enam bulan), apabila jaksa menuntut pidana penjara tinggi, yang juga bergantung pada ancaman pidana dalam Undang-Undang," ujarnya.

Evaluasi serius

Berdasarkan temuan ICJR, hanya ada 59 tindak pidana yang dapat otomatis dijatuhi pidana kerja sosial. Sedangkan 1.154 perbuatan pidana yang diancam pidana penjara. Selain itu, ada 249 perbuatan pidana yang diancam dengan pidana minimum dari satu tahun sampai empat tahun penjara.

Temuan ini belum termasuk ancaman pidana dalam undang-undang sektoral lain, seperti Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang tentang Narkotika, dan lain-lain.

"ICJR mendorong pemerintah melakukan evaluasi yang serius atas kebijakan pemidanaan di Indonesia, khususnya mengantisipasi kelebihan kapasitas untuk meminimalisasi over crowding dalam Lapas,” katanya.

Tindakan pada situasi yang cepat juga dibutuhkan untuk memprioritaskan penanganan pada lapas-lapas besar yang mengalami kelebihan penghuni. Terhadap lapas-lapas itu kebijakan transisi untuk mengurangi dampak kerusuhan dan problem keamanan seharusnya bisa dicegah dan diantisipasi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya