Indonesia Bersiap Menyambut El Nino

Ilustrasi/Proses pemadaman kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang

VIVA.co.id – Juni 2017, diprediksi menjadi bulan awal pertanda masuknya bencana kemarau di Indonesia. Ini ditunjukkan dengan mulai berkurangnya curah hujan sepanjang musim peralihan di bulan Mei.

Pakai Pelumas Biar Area Genital Lebih Licin, Ketahui Dulu 5 Efek Sampingnya Ini

"Waspada kemarau pada bulan Juni, yakni terhadap kasus kebakaran hutan dan lahan," kata Kepala BNPB Willem Rampangilei awal Mei lalu.

Diakui Willem, peringatannya soal fenomena El Nino (kekeringan/kemarau) kali ini, memang menuntut perhatian lebih. Sebabnya, setelah bencana dahsyat pada tahun 2015 karena kebakaran hutan dan lahan.

BLT El Nino Akan Diberikan Hingga Maret 2024

Penanganan kebakaran hutan dan lahan Gambut di Kalimantan Barat

FOTO: Petugas pemadam kebakaran hutan memadamkan sumber api di lahan gambut Riau pada tahun 2015

Negara Kekeringan Likuiditas, Mengapa?

Diperkirakan, justru pada tahun 2017 menjadi tahun yang lebih berat. Mengingat pada tahun 2016, bencana kebakaran hutan dan lahan faktanya terbantu dengan panjangnya curah musim hujan.

"Data perkiraan cuaca, 2017 akan lebih berat. Karena kemarau panjang," kata Willem.

Bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sudah menjadi bencana paling mengerikan yang memiliki dampak luas hingga ke negara lain.

Tahun 2015, Bank Dunia mencatat ada 2,6 juta hektare hutan dalan lahan pertanian Indonesia terbakar. Kerugian yang harus ditanggung Indonesia mencapai Rp221 triliun atau sekitar US$16,1 miliar atau dua kali lipat besar dari biaya pemulihan tsunami Aceh pada tahun 2004 yang mencapai US$7 miliar.

Kebakaran lahan gambut di Desa Kualu, Kampar, Riau. Foto: ANTARA/Rony Muharrman

FOTO: Kebakaran lahan gambut di Riau pada tahun 2015

Di tahun 2016, beruntung fenomena El Nina cukup panjang. Sehingga bencana kebakaran hutan dan lahan ikut menurun signifikan di tahun ini. Laporan pemerintah, jika di tahun 2015 tercatat ada 70.971 titik api, di tahun 2016 hanya ada 3.844 titik api atau menurun hingga 94,58 persen.

Sejauh ini, terhitung Februari 2017, Provinsi Riau dan Sumatera Selatan, dua daerah yang kerap langganan bencana kebakaran hutan dan lahan telah menetapkan status siaga darurat hingga November 2017.

Dengan penetapan ini, seluruh armada dan kesiapsiagaan telah diprioritaskan untuk kedua wilayah ini.

Kesiapsiagaan ini menjadi bukti bahwa pemerintah telah belajar banyak dari bencana kebakaran hutan dan lahan. Kerugian yang didera setidaknya mencapai Rp30 triliun per tahun menjadi dasar bahwa bencana alam bukan soal menangani tapi lebih kepada mengantisipasi.

FOTO: Sebaran titik api saat bencana kemarau melanda Indonesia

Mau tak mau, perubahan iklim telah merubah segalanya. Siklus kemarau dan hujan kini sudah sangat sulit ditebak. Semua berubah dalam waktu singkat dan memang menuntut kewaspadaan lebih.

Tinggal lagi faktor manusia. Kesiapsiagaan warga di lokasi yang rentan bencana mesti menjadi prioritas. Sebab fakta telah menunjukkan, di luar fenomena kekeringan panjang, ternyata ulah manusia menjadi faktor besar memicu bencana jadi lebih meluas dan lebih cepat tersulut.

“Tidak mungkin hanya pemerintah yang melakukan penanggulangan bencana. Perlu ada peran masyarakat. Perlu diketahui, 35 persen orang selamat bencana karena kapasitas individunya. Jadi konsep penanggulangan bencana harus berbasis pada masyarakat,”  kata Willem.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya