Kisah Pilu Ratu Sekar Kedaton Saat Dibuang dari Yogyakarta

Kompleks pemakaman Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan Gusti Kanjeng Pangeran Arya.
Sumber :

VIVA.co.id – Mungkin tak banyak orang tahu perjalanan hidup permaisuri dan putra mahkota Sri Sultan Hamengkubowo V, setelah diasingkan atau dibuang Belanda ke Manado, Sulawesi Utara.

Keraton Yogyakarta Tiadakan Acara Tradisì Mubeng Beteng 1 Suro

Menurut Roger Kembuan, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi Manado, Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan Gusti Kanjeng Pangeran Arya Suryeng Ngalaga alias Kanjeng Gusti Timur Muhammad, hidup dan meninggal Manado.

Roger menceritakan, semua itu berawal pada 8 April 1883, Residen Yogyakarta van Baak mengirim telegram kepada Gubernur Jendral Frederiks' Jacob, yang berisi permintaan untuk mengasingkan Ratu Kedaton dan Pangeran. Nah, Gubernur Jendral merespons berita tersebut dengan mengatakan bahwa, keduanya harus secepatnya diasingkan dan menegaskan bahwa Sultan yang harus menerbitkan surat keputusan pengasingan.

Penutupan Wisata ke Keraton Yogyakarta Diperpanjang hingga 20 Juli

"Tiga hari kemudian, pada 11 April 1883 Sultan mengeluarkan perintah untuk mengasingkan keduanya dari Jawa menuju Manado. Beberapa koran seperti De Locomotief dan Soerabaja Handelsblad memberitakan proses pembuangan Ratu dan Pangeran Soerio Ingalaga," ujarnya kepada VIVA.co.id Fakultas Ilmu Budaya Unsrat Manado, baru-baru ini.

Keduanya lalu dikirim dengan kereta api khusus ke Semarang dan kemudian ditempatkan di Kapal Uap Cheribon. Lalu melakukan pelayaran sekitar lima jam ke Surabaya dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Manado.  

Kunjungan Wisatawan ke Keraton Yogyakarta Ditutup Sementara

Di Manado, kata Roger, Ratu Sekar Kedaton dan putranya beserta keluarga yang mengiringi, bermukim di daerah Pondol. Di tempat itu mereka tinggal di Pesanggrahan yang pernah dihuni Pangeran Diponegoro.

"Pembuangan yang mereka terima harus menyendiri dan tidak lagi memiliki hak atas semua harta dan statusnya. Bahkan kekayaan pribadinya pun tidak diperkenankan dibawa," kata dosen yang menyelesaikan studi S2 di UGM Yogyakarta ini.

Roger mengatakan, Pondol terletak di pusat Kota Manado yang merupakan lokasi yang dikenal dengan nama Keratonan, di tempat ini terdapat pemukiman muslim dan sebuah masjid tua.

Selama di Residen Manado mereka diberikan uang bulanan sebesar 150 gulden dari kas keraton Yogyakarta. Lokasi tempat mereka tinggal adalah suatu kawasan yang disebut dengan Kampung Belanda.

"Pangeran Soerio Ingalaga meninggal pada 12 Januari 1901. Residen Menado van Hengel setelah kematian Pangeran meminta Ratu Kedaton untuk dikembalikan ke Yogyakarta dengan pertimbangan bahwa ratu telah lanjut usia dan setelah kematian anaknya tersebut dianggap bukan menjadi ancaman lagi bagi keraton. Terlebih uang bulanan yang diberikan kepada mereka cukup tinggi," katanya.

Namun hal itu sepertinya tidak direstui dan ia tetap tinggal di Manado hingga meninggal pada 25 Mei 1918. Setelah keduanya (permaisuri dan putranya) meninggal, yang tersisa di pengasingan istri Pangeran Soerio Ingalaga berserta anak-anaknya. Istri Pangeran adalah RA Kanjeng Gusti (putri kedua Sri Sultan HB VII) yang memiliki anak Abdul Razak (Radjab).

"Makam keduanya terletak di kompleks pekuburan Muslim lama di Mahakeret Timur, Kecamatan Wenang, bersebelahan dengan Sekolah Kristen Eben Haezer Manado," kata Roger lagi.

Selanjutnya, kata dia, Abdul Razak beberapa kali mengirim petisi yang meminta agar mereka dikembalikan ke Jawa. 

"Ketika Gubernur Jendral de Graeff mengunjungi Manado pada 1929, Abdul Radjab sempat melakukan pertemuan dengannya. Tapi De Graeff tidak memberikan izin kepada mereka untuk kembali ke Jawa. Tanggal 3 Januari 1934 Abdul Razak pergi ke Batavia untuk bertemu dengan Gubernur Jendral De Jonge dan kembali meminta izin agar dapat kembali ke Jawa," ujarnya.

Akhirnya, Gubernur Jendral de Jonge mengeluarkan keputusan bahwa Abdul Razak dan seluruh keluarganya diizinkan untuk kembali di Jawa (tetapi di luar wilayah Kesultanan Yogyakarta) yaitu tinggal di Magelang dan keseluruhan biaya kepindahan mereka ditanggung pemerintah.

Selain Abdul Razak, pasangan Pangeran Ingalaga dan RA Kanjeng Gusti memiliki anak, putri RA Mariah, dan RA Salamah.

"Selanjutnya Abdul Razak kawin dengan Unggu Bin Sihaka dengan empat orang anak yaitu RM Sujadi, RM Obed, RA Tien dan seorang yang tidak diketahui namanya. Abdul Razak juga menikah untuk kedua kali dengan gadis Manado, Ema Sondakh. Tapi tidak memperoleh keturunan. Pada tahun 1940, RM Abdul Razak bersama keluarganya kembali ke Jawa," ujar Roger.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya