Dari Kampung TKW ke Desa Batik

Warga Desa Jamberarum Kendal mempraktikkan cara membatik. Seluruh pekerja batik di desa ini mantan Tenaga Kerja Wanita di luar negeri, Jumat (7/7/2017)
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dwi Royanto

VIVA.co.id – Sejumlah daerah di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, sejak beberapa tahun silam kerap dikenal dengan kampung tenaga kerja wanita, atau TKW. Sebutan itu muncul, karena memang banyaknya perempuan yang memilih bekerja mengais pundi-pundi rezeki ke luar negeri.

Balon Udara Muncul di Ketinggian 9.000 Feet, AirNav Semarang Minta Pilot Waspada

Salah satu desa yang yang pernah lekat dengan julukan desa TKW adalah Desa Jamberarum, Kecamatan Patebon. Hampir lima puluh persen perempuan di desa yang terdiri dari enam RW itu, lebih memilih mengais dolar di luar negeri di banding rupiah di negeri sendiri. Tentunya, faktor ekonomi dan sulitnya lahan pekerjaan yang menjadi alasan.

"Kalau habis Lebaran seperti ini, memang banyak perempuan yang kembali lagi ke luar negeri. Karena, memang banyak juga yang jadi TKW, baik Hongkong, Singapura, atau Arab Saudi," kata Sukis Saman, Ketua RW IV Desa Jambearum, Jumat 7 Juli 2017.

Heboh! Cerita TKW Asal Madura Harus Bayar Pajak Ratusan Juta Usai Bawa Emas 3 Kg ke Indonesia

Sukis menyebut, tercatat sekitar 400 kepala keluarga di RW-nya, para perempuan yang menjadi TKW di luar negeri berkisar mencapai 20 persen lebih.

Warganya memilih jadi TKW, rata-rata sebagai asisten rumah tangga dan berangkat secara resmi. Mereka beralasan, lebih menyukai pekerjaan di tanah rantau, lantaran tergiur dengan penghasilan tinggi.

Wisatawan di Kota Semarang Capai 350 Ribu Orang Saat Libur Lebaran, Kota Lama Terbanyak Dikunjungi

"Ibaratnya dolar masih memikat bagi mereka. Sudah merasakan enak di luar negeri, ya pasti balik lagi, " ujarnya.

Menurut Sukis, mulai membludaknya warganya memilih mengais rezeki di negeri tetangga berawal sejak tahun 2000 silam. Sukis sendiri menjadi orang pertama yang sempat merasakan manisnya bekerja di negeri. Kala itu ia sempat menjadi tukang bangunan di negeri jiran Malaysia di tahun 1994 hingga tahun 2000.

"Bisa dibilang yang mengawali tradisi merantau luar negeri itu ya saya. Dulu awalnya hanya ada tiga orang yang merantau ke luar negeri. Tapi habis itu makin banyak warga yang merantau, " katanya.

Namun, lambat laun Sukis pun mengaku prihatin, karena makin banyak warga, khususnya kaum wanita yang kini tetap memilih bekerja di luar hingga puluhan tahun.

"Saya dulu memilih balik, karena saya rasa hasilnya sudah cukup untuk biaya keluarga. Tetapi, sekarang tidak kepikiran balik lagi," ujar Sukis.

Berdayakan TKW

Warga Desa Jamberarum belajar membatik, Jumat (7/7/2017)

FOTO: Perempuan mantan Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri di Desa Jamberarum Kendal mempraktikkan ilmu membatik, Jumat (7/7/2017)

Julukan desa TKW di Kembangarum, rupanya menjadi keprihatinan sendiri bagi Sri Lestari. Warga asli yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kendal itu, lalu berinisiatif mengubah stigma itu dengan berbagai inovasi.

Sri lantas mencetuskan membuat keterampilan bagi ibu-ibu TKW. Idenya dengan memberdayakan pelatihan membatik tulis khas desanya. Usaha yang dirintis sejak 2010 silam itu, awalnya hanya diikuti oleh 15 perempuan. Seluruhnya, merupakan mantan TKW yang puluhan tahun mengais dolar di negeri seberang.

UMKM batik itu bernama batik Jambe Kusuma. Hingga sekitar tahun 2013 lalu, hasil batik ibu-ibu itu sempat berbuah manis. Berbagai corak batik berikut pernak-pernik yang dihasilkan telah berjalan cukup baik. Batik buatan desa ini, sudah dijual ke berbagai daerah di Indonesia, bahkan diekspor ke beberapa negara tetangga.

Desa Jambearum juga sempat ditetapkan sebagai desa batik oleh Dirjen Kementerian Pariwisata dan Dinas Pariwisata Jawa Tengah. Beberapa kali, usaha itu sempat mendapatkan penghargaan dari pemerintah hingga Desanya ditetapkan sebagai desa vokasi.

"Gara-gara ada batik ini, nama Desa Jambearum jadi terangkat. Pak Gubernur pernah kemari buat memesan batik. Begitu pula, dari pejabat kementerian. Saya berharap, warga senantiasa menghidupkan usaha batik ini dan tidak lagi merantau luar negeri," kata Sri.

Meski usaha itu masih berjalan, namun Sri mengaku jumlah ibu-ibu yang turut bergabung dalam Kelompok Usaha Batik Jambe Kusuma kini berangsur berkurang. Alasannya pun klasik, masih banyak wanita muda yang tergiur dolar di luar negeri.

"Sebenarnya, tujuannya memang pemberdayaan, agar warga tak balik lagi ke luar negeri. Namun, mereka enggak sabaran. Karena, menganggap prosesnya terlalu lama dan banyak yang ketagihan dapat dolar, maka ya mereka balik lagi ke sana," katanya.

Kondisi itu pun sempat membuat Sri kebingungan. Apalagi, order batik yang kerap mengalir cukup deras. Baik dari kalangan dinas-dinas maupun dari perusahaan-perusahaan tertentu.

Di tengah tantangan itu, Sri pun mengaku akan terus berjuang. Di tengah gempuran hambatan, dirinya masih telaten untuk memperjuangkan batik Jambe Kusuma. Sesekali, dia juga menerima sejumlah mahasiswa luar negeri yang kerap melakukan penelitian, bahkan belajar di sentra batiknya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya