Yusril: Presiden Tak Cukup Alasan Terbitkan Perppu Ormas

Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra (kiri) bersama Pakar Hukum Tata Negara Zain Badjeber (kanan) memberikan keterangan saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/7).
Sumber :
  • ANTARA/M Agung Rajasa

VIVA.co.id – Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) resmi menunjuk Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukumnya melawan pemerintah, terkait diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017.

Tentukan Idul Fitri, Kemenag Gelar Sidang Isbat Malam Ini

Dalam waktu dekat ini, permohonan uji materil ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas Perppu tersebut akan diajukan. Ini karena diyakini bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.

"Perppu ini merupakan kemunduran demokrasi di Tanah Air. Sebab, Perppu ini membuka peluang untuk Pemerintah berbuat sewenang-wenang membubarkan ormas yang secara subjektif dianggap Pemerintah bertentangan dengan Pancasila, tanpa melalui proses peradilan," kata Kuasa Hukum HTI, Yusril Ihza Mahendra, melalui siaran persnya, Rabu 12 Juli 2017.

Guru Besar UMJ Ingatkan Gerakan Pro-Khilafah Masih Eksis di RI dengan Modus Baru

Yusril menambahkan kewenangan absolut pemerintah untuk secara sepihak membubarkan ormas sebagaimana diatur dalam Perpu No 2 Tahun 2017 adalah bertentangan dengan prinsip negara hukum, karena kebebasan berserikat adalah hak warganegara yang dijamin oleh UUD 1945.

"Norma undang-undang yang mengatur kebebasan itu tidak boleh bertentangan dengan norma UUD yang lebih tinggi kedudukannya," kata Yusril.

Menag Yaqut Buka Suara Soal HTI Diduga Gelar Kegiatan di TMII

Selain pertimbangan itu, Yusril berpendapat bahwa tidak cukup alasan bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu sebagaimana diatur oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 45. Padahal, Perppu hanya bisa diterbitkan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.

Tafsir tentang kegentingan yang memaksa itu ada dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009 yang menyebutkan adanya kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, tetapi undang-undangnya belum ada, atau undang undangnya ada tapi tidak memadai.

Sementara waktu sangat mendesak sehingga memerlukan waktu yang lama untuk menyusun undang-undang dengan persetujuan DPR.

"UU Nomor 17 Tahun 2003 itu lebih daripada lengkap mengatur prosedur sanksi administratif sampai pembubaran ormas. Tapi Pemerintah dengan Perpu No 2 Tahun 2017 ini justru memangkasnya, dengan menghapus kewenangan pengadilan dan memberi kewenangan absolut pada Pemerintah untuk secara subjektif menilai adanya alasan yang cukup untuk membubarkan ormas," katanya.

Yusril menambahkan Perppu ini juga mengandung tumpang tindih pengaturan dengan norma norma dalam KUHP, terkait delik penodaan agama, permusuhan yang bersifat suku, agama, ras dan golongan, serta delik makar yang sudah diatur dalam KUHP.

"Adanya tumpang tindih ini bisa menghilangkan kepastian hukum yang dijamin oleh UUD 1945," ujarnya.

Langkah yang ditempuh HTI menurut Yusril akan disusul oleh beberapa ormas lain, yang sama-sama menganggap Perppu ini merupakan kemunduran demokrasi di Tanah Air. Sebab, Perppu ini membuka peluang bagi Pemerintah berbuat sewenang-wenang membubarkan ormas, yang secara subjektif dianggap bertentangan dengan Pancasila, tanpa melalui proses peradilan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya