Jimly: Perppu Dibuat Jika Negara dalam Keadaan Darurat

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Eduward Ambarita

VIVA.co.id - Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang mengenai Organisasi Masyarakat menuai polemik. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie, mengatakan sejak dahulu, dia tidak pernah setuju diterbitkannya Perppu.

Saksi Ahli HTI Tak Tahu Organisasinya Dilarang Banyak Negara

"Pertama soal Perppu. Saya ini sudah berbicara tentang Perppu itu karena buku saya itu sudah beredar di mana-mana. Dari zaman dulu saya itu tidak setuju Perppu," ujar Jimly di sebuah acara diskusi di Jakarta Pusat, Kamis 13 Juli 2017.

Menurutnya, Perppu itu adalah undang-undang darurat yang di mana pemerintah tidak punya kesempatan untuk membentuk proses yang normal.

PKS Dorong Revisi UU Ormas

"Maka dibentuk peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Jadi di UUD (Undang-Undang Dasar) itu bukan Perppu tapi peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Ada kata sebagai. Jadi bukan Perppu," ujarnya.

Mantan Ketua Mahkamah Konsitusi ini menambahkan, esensi diterbitkannya Perppu bila dalam keadaan darurat. Dia mengemukakan bahwa keadaan darurat itu menurut hukum internasional dan di dalam konstitusi Indonesia harus ada deklarasi keadaan darurat dulu.

Tak Masuk Prolegnas, Kegentingan UU Ormas Dipertanyakan

"Itu sudah diatur dalam undang-undang darurat. Jadi dari zaman dulu saya mengatakan Perppu produk tidak tepat," katanya.

Mengenai keadaan darurat, ia pun menyampaikam seharusnya ada deklarasi yang menyepakati suatu kondisi disebut dalam keadaan darurat. Misal darurat perang, darurat militer atau sipil.

"Baru dalam keadaan itu keluar namanya undang-undang darurat. Tapi karena istilahnya kita kembali ke UUD 45, maka istilahnya peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang yang disingkat jadi Perppu kemudian jadi nama. Tapi saya tetap berpendirian Perppu itu harus ada deklarasi keadaan darurat. Baru dia memenuhi syarat," katanya.

Bahkan, pria kelahiran Palembang ini menegaskan, sejak jaman Presien Susilo Bambang Yudhoyono ia tidak pernah setuju diterbitkannya Perppu.

"Siapa pun yang membuat Perppu, mau saat zaman Presiden SBY sampai 18 kali buat Perppu saya adalah orang yang tidak setuju. Perppu yang mana pun. Karena itu adalah undang-undang darurat yang harus ada deklarasi darurat lebih dulu. Teori yang mengatakan itu subjekifitas Presiden itu kuno. Itu teori yang tidak tepat," kata mantan anggota Dewan Kehormatan Presiden bidang Hukum di zaman SBY tersebut.

Perppu bisa dilawan

Jimly menegaskan tidak setuju diterbitkannya suatu Perppu. Namun mengenai Perppu ormas yang saat ini menjadi polemik ia hanya setuju jika suatu ormas yang bertentangan dengan NKRI, UUD 1945 dan Pancasila harus dibubarkan.

"Perppu saya tidak setuju. Tapi kalau substansi tentang ormasnya saya setuju. Isinya saya setuju. Kenapa saya setuju? Karena memang harus ada pengaturan yang pasti bahwa organisasi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, organisasi yang mengajarkan kebencian dan permusuhan, itu harus ditindak. Itu setuju saya," kata Jimly.

Ia pun mencontohkan, misal pendapat seseorang perihal sesuatu itu merupakan kebebasan berpendapat. Tetapi jika sudah membentuk organisasi dan mengajak orang berpikiran bertentangan dengan ideologi bangsa maka harus ditindak.

"Misal ada orang anti-Tuhan dan komunis dan tidak percaya Tuhan, silakan saja. Tapi begitu dia membuat organisasi anti-Tuhan Indonesia berarti dia mau mengajak orang, dia mau menggerakkan orang secara bertentangan, nah itu dia tidak boleh. Harus dilarang," jelasnya.

Mengenai isi pasal pembubaran ormas dalam Perppu tersebut, pria kelahiran Palembang ini menyebut, meskipun dalam Perppu pembubaran ormas bisa dilalui melalui mekanisme pengadilan namun setiap Perppu masih bisa dilawan.

"Jadi apa pun meski tidak disebutkan mekanisme ke pengadilan harus dipahami semua keputusan pejabat negara, keputusan administrasi negara, keputusan pengaturan negara bisa dilawan upaya hukum," katanya.

"Melawannya kedua tempat, kalau undang-undang bawa ke MK (Mahkamah Konstitusi). Kalau bentuknya di bawah undang-undang itu bawa ke MA (Mahkamah Agung). Tapi kalau bentuknya administrasi negara bawa ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Jadi saya rasa tidak perlu salah paham. Apa pun tindakan pemerintah bisa dilawan mekanisme hukum," tuturnya.

Ia pun menambahkan, misalkan organisasi HTI dibubarkan berdasarkan Perppu, maka mereka boleh melakukan perlawanan hukum ke PTUN. "Itu suatu kemungkinan," ujarnya.

Menurutnya, perlawanan hukum tersebut dimungkinkan karena dijamin oleh UUD 1945 dan konstitusi yakni kemerdekaan untuk berorganisasi.

"UUD 45 dan konstitusi memberi hak membela diri. Kemerdekaan untuk berorganisasi sambil dia buktikan organisasi mereka tidak bertentangan dengan Pancasila. Coba dibuktikan mau buat khilafah tidak bertentangan dengan Pancasila seperti apa. Biar perdebatan itu ada keputusan bukan hanya debat di media," katanya. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya