Sultan Ditetapkan Lagi sebagai Gubernur Yogyakarta

Sri Sultan Hamengku Buwono X, Raja Keraton Yogyakarta, saat akan ditetapkan lagi sebagai sekaligus Gubernur DI Yogyakarta pada Rabu, 2 Agustus 2017.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Daru Waskita

VIVA.co.id - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DI Yogyakarta menggelar rapat paripurna istimewa dengan agenda penetapan gubernur dan wakil gubernur periode 2017-2021 pada Rabu, 2 Agustus 2017. Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam X dipastikan menjabat lagi.

Top Trending: Ramalan Jayabaya hingga Anggota TNI dan Polri Tewas Diserang KKB Sepanjang 2024

Dalam rapat paripurna istimewa itu, Raja Keraton Yogyakarta sebagai calon Gubernur menyampaikan visi dan misinya untuk lima tahun ke depan.

Arif Noor Hartanto, Wakil Ketua Panitia Khusus Penetapan DPRD, mengatakan penyampaian visi dan misi gubernur sangat strategis dan bukan untuk formalitas semata karena menyangkut program kerja lima tahun mendatang.

Merinding! Kisah Nyata Konser Ghaib di Kaki Gunung Merapi, Penonton Hening Tanpa Ekspresi

"Masyarakat Yogya harus tahu apakah visi misi gubernur bisa memberikan harapan yang lebih baik untuk lima tahun ke depan," katanya.

Politikus PAN itu juga menjelaskan proses untuk sampai ke penetapan oleh DPRD melalui berbagai tahapan. Tahap yang sempat panas adalah saat verifikasi. Saat itu nama Sri Sultan sempat dipersoalkan karena ada dua nama, yakni menggunakan Hamengku Buwono dan Hamengku Bawono.

Erupsi Gunung Merapi, Wilayah Boyolali Diguyur Hujan Abu

Setelah diklarifikasi dengan memanggil pihak Keraton, DPRD akhirnya hanya menggunakan satu nama, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono X. "Tetap menggunakan nama Sri Sultan Hamengku Buwono X, bukan menggunakan Bawono," kata Arif.

Kembangkan daerah selatan

Dalam penyampaian visi dan misinya, Sultan memberikan judul Menyongsong Abad Samudra Hindia untuk Kemuliaan Martabat Manusia Jogja.

Menurut Sultan, DI Yogyakarta memiliki 126 kilometer garis pantai yang melingkupi tiga kabupaten dan sangat strategis untuk lintas perekonomian di wilayah Samudera Hindia. Sultan menginginkan daerah selatan dikembangkan, apalagi kemiskinan di bagian selatan Yogyakarta cukup tinggi.

Angka kemiskinan tertinggi memang berada di wilayah selatan Yogya. Jumlah penduduk miskin terhitung Maret 2017 mencapai sekitar 488 ribu jiwa atau sekitar 13,02 per sen. Masih cukup tinggi apabila dibandingkan persentase penduduk miskin nasional sebesar yang 10,96 per sen. Jumlah penduduk miskin di wilayah perdesaan mencapai 16,11 persen dan wilayah perkotaan 11,72 persen.

Sultan juga menjelaskan kesenjangan antara warga kaya dan warga miskin di Yogyakarta cukup tinggi, yang ditunjukkan dengan angka rasio gini sebesar 0.432, tertinggi di Indonesia, dan disusul Gorontalo sebesar 0,41. Kesenjangan di perkotaan lebih tinggi (0,435) dibandingkan kesenjangan yang terjadi di perdesaan (0,340).

Sementara indeks kedalaman kemiskinan di perdesaan (2,29) juga menunjukkan angka yang lebih tinggi daripada indeks kedalaman kemiskinan di perkotaan (2,15).

"Ini berarti warga miskin perdesaan harus berjuang lebih keras untuk bertahan hidup dengan membayar pengeluaran konsumsi yang lebih besar daripada warga miskin perkotaan," kata Sultan.

Gunung Merapi-Laut Kidul

Sultan juga menyinggung sumbu imajiner Gunung Merapi-Laut Kidul yang memiliki makna dan ajaran harmoni kosmos, dalam pegertian bahwa bentang ruang wilayah Yogyakarta mulai puncak Gunung Merapi di Sleman sampai ke bibir pantai dan lidah air Laut Kidul, merupakan suatu kesatuan bentang ruang ekologis, yang harus diperlakukan secara utuh, ibarat satu sosok tubuh manusia yang memiliki kepala, badan, dan kaki.

"Dalam konsepsi kosmos seperti itu, maka perlakuan pembangunan di wilayah Sleman dan Kota Yogyakarta harus memiliki tenggang ekologis dengan wilayah Bantul, Gunungkidul dan Kulonprogo. Demikian pula sebaliknya, perlakuan pembangunan di wilayah Bantul, Gunungkidul dan Kulonprogo harus memiliki rujuk ekologis dengan wilayah Sleman dan Kota Yogyakarta," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya